<$BlogRSDUrl$>

Tuesday, August 17, 2004

Terlena Bersama Ikke Nurjannah 

ikke nurjannahPAGI ini saya menikmati dua perayaan kemerdekaan. Pertama, kemerdekaan dari belenggu deadline tesis. Alhamdulillah, setelah beberapa pekan mendekam di depan layar komputer, saya tiba juga pada bab akhir. Masih akan ada aneka revisi, tentu saja, tapi masa-masa paling menyiksa itu usai sudah. Merdeka!

Kedua, kemerdekaan Indonesia tercinta. Pagi yang basah ditetesi gerimis mengiringi langkah saya dan suami menuju Wisma Nusantara untuk berkumpul dengan warga Indonesia di Inggris Raya merayakan tujuhbelasan. Tak di kampung, tak di London, acara perayaan ini tetap saja berkisar di lomba makan kerupuk, balap karung dan bazaar.

Satu hal yang saya sukai dari setiap tujuhbelasan: silaturahmi. Bagi saya, aneka lomba dan keriaan itu hanya sarana belaka. Intinya, sih, silaturahmi. Kumpul-kumpul.

Di Jakarta pun, mungkin hanya tiap Idul Fitri dan 17 Agustus saya berkesempatan bertemu dengan seluruh warga RT atau RW. Selebihnya, hari-hari lebih banyak didera kesibukan. Maka, jika dua momen itu tiada, makin langkalah kesempatan bercengkerama dengan para tetangga. Padahal, seperti kata pepatah, kita bisa memilih teman, tapi tidak bisa memilih tetangga!

Nuansa silaturahmi pula yang saya rasakan di perayaan kemerdekaan di London, hari ini. Masyarakat Indonesia dari berbagai sudut Inggris mengerumun di Wisma Nusantara. Setidaknya, enam ratus-an orang hadir. Mahasiswa, pejabat, karyawan, TKI, semua berbaur. Sebagian kecil datang sejak pagi untuk ikut upacara bendera. Berhubung kurang gemar ikut upacara sejak jaman Sekolah Dasar dulu, saya dan suami memilih datang agak siang.

Peringatan proklamasi kali ini istimewa buat warga Indonesia di Inggris Raya. Menurut beberapa teman yang telah lama tinggal di sini, inilah salah satu tujuhbelasan termeriah. Bintang tamunya memang tak biasa: Ikke Nurjannah. Sejak nama Ikke diluncurkan dalam undangan ke berbagai komunitas di Inggris, banyak warga Indonesia di sini buru-buru merancang cuti, libur atau terpaksa bolos!

Ketika Ikke menyembul di panggung, ratusan warga langsung merangsek mendekat. Panitia dari PPI London dan KBRI, termasuk pembawa acara Lula Kamal, beralih fungsi jadi petugas tramtib mengamankan massa yang brutal menyerbu Ikke. Dari yang ingin berfoto, memegang hingga sekedar ikut bergoyang di dekat Ikke. Rumah Duta Besar Juwono Sudarsono di kawasan mewah East Finchley ini seketika menjelma bagaikan panggung dangdut di kampung-kampung. Tak heran kalau massa TKI yang --mungkin rindu suasana dangdutan di kampungnya-- paling depan menghadang Ikke.

Saya dan teman-teman mahasiswa di London memilih membentuk kelompok sendiri di tengah. Ikut berjoget gila-gilaan. Maklum, sebagian besar telah rampung dengan tesis, sama seperti saya. Maka, dangdutan pun betul-betul menjadi pelepas stress dan capek yang menimbun berminggu-minggu ini. Sekolah boleh di London, liburan boleh ke kota-kota dunia, tapi soal musik, ya tetap kembali ke selera asal, bersaing dengan para TKI: dangdut!

spice girls
Semua turun berdangdut bersama. Terutama kelompok kami, mahasiswi-mahasiswi Indonesia di London. Matahari yang kian jahanam menyengat tak membuat kami berhenti, malah tambah semangat. Siapa sangka, sahabat-sahabatku yang selama ini lekat dengan pergaulan dan selera internasional, ternyata tak cuma lancar bergoyang, tapi juga fasih menghapal lirik tembang-tembang Ikke. Goyangan mereka pun “dangdut sekali” lengkap dengan dua jempol digoyang-goyang dan pinggul meliuk-liuk ala Inul. Saya --seperti diledek oleh teman-teman di kantor lantaran selalu kaku berjoget-- tampil dengan joget komando alias goyang dangdut maju mundur ala tentara!

Jadi, meski badan luluh lantak lantaran seharian diterpa matahari musim panas London dan hebohnya goyang dangdut, hari ini saya betul-betul merasa merdeka. Ikke benar-benar membuat kami terlena sepanjang hari ini. Terlenaaaaaa...Ku terlena...

Monday, July 19, 2004

Musim Strawberry Telah Tiba 

MUSIM panas Inggris menghadirkan kesukaan baru: strawberry segar. Sebelumnya, saya hanya mengenal buah ini lewat selai, es krim dan aneka penganan. Itupun yang sarat pewarna khas jajanan anak Jakarta masa saya kecil. Maklum, buah ini bukan asli buatan Indonesia. Kalaupun ada beberapa perkebunannya seperti di Puncak, rupa dan rasanya beda. Lebih asam dan kecil-kecil.

Kini, di negeri ini, saya bergelimang strawberry. Apalagi di musim panas begini. Strawberry berserak dimana-mana. Di pasar tradisional, supermarket hingga di perkebunan. Harganya pun murah meriah lantaran persediaan melimpah. Saya tak kuasa menatap warnanya yang merah segar di tengah teriknya matahari London. Walhasil, setiap melintas pasar, beberapa kotak strawberry pun tersampir di dalam ransel.

Tak puas hanya menyantap, saya pun penasaran ingin ikut memetiknya. Maklum, masa kecil saya lebih banyak dikelilingi buah-buahan kampung -- mangga, rambutan dan jambu kelutuk -- yang tumbuh di halaman rumah. Kebetulan, banyak perkebunan strawberry di sini yang membuka diri sebagai tempat wisata. Pengunjung bisa memetik, menimbangnya di kasir dan kemudian menyantapnya di taman nan terbentang luas. Serupa dengan kebun-kebun apel di Malang, Jawa Timur yang juga jadi kawasan wisata favorit saya.

strawberry
Lantaran bersamaan dengan liburan sekolah anak-anak Inggris, ide saya disambut hangat oleh Matta dan Juang, anak keluarga Liston Siregar, dan Kirana, anak keluarga Susilo. Maka di Senin pagi saat matahari terik menantang, kami pun beramai-ramai meluncur ke kebun strawberry di Swanley, Kent, sekitar satu jam perjalanan dari rumah.

Hamparan kebun strawberry menyambut. Kami beramai-ramai berjongkok dan merayap di antara pohon-pohon strawberry yang tumbuh merambat rendah. Buahnya nan merah segar menyembul di sela-sela dedaunan. Sungguh sedap dipandang mata dan disentuh lidah. Sambil memetik, kami tak henti-henti memasukkan strawberry ke mulut. Rasanya yang asam manis sungguh segar menelusuri kerongkongan di panas terik. Lagu Strawberry Fields Forever milik The Beatles segera meliuk-liuk di kupingku: Let me take you down cause I'm going to strawberry fields...

Tepat tengah hari kami membuka bekal makan siang. Selebihnya, strawberry, strawberry dan strawberry! Lupa daratan lantaran tergiur merahnya strawberry segar. Tak terasa sehari penuh kami di sana. Tiba di rumah, tinggallah saya mabuk strawberry. Dijamin dalam beberapa hari ini, jangankan menyantap, melihat bentuknya saja sudah membuat saya mual. Rupanya, perut kampung saya ini tetap lebih suka bergaul dengan jambu kelutuk dan rambutan!


Saturday, July 03, 2004

Paris I´m in Love 

SUNGAI Seine masih mengalirkan keindahan. Lampu-lampu Champs-Elysees masih memendarkan kehangatan. Paris, saya datang lagi. Dua setengah jam saya menembus terowongan bawah laut dengan kereta Eurostar dari London untuk tiba di sini. Menyesap kembali udara musim panas Paris yang kadang diselingi hujan dan angin.

SeineSaya tiba bersama suami. Menelusuri tepi Seine dan menikmati para pelukis jalanan yang mengguratkan kanvas mereka. Mendaki Eiffel dan memandang Paris yang membentang di ujung kakiku. Menerobos relung-relung Louvre dan memandang lukisan Monalisa yang terpancang cantik di situ. Menghembuskan doa di depan Notre Damme, di sebuah bundaran kecil yang dipercaya sebagai titik tengah kota Paris. Konon, siapa yang menjejakkan kaki di situ, ia akan kembali lagi ke Paris.

Ingatan melayang ke kala pertama saya mendatangi bumi Perancis. Keindahan ternyata bukan cuma milik Paris. Tapi juga Bretagne, Nice, Toulouse dan Montpellier yang saya sambangi dalam perjalanan beberapa tahun silam. Sulit memang bertandang ke bagian dunia dimana kita tak berbicara dengan bahasa yang sama. Namun, untunglah, kata-kata dalam bahasa apapun menjadi tak terlalu penting untuk mengagumi negeri ini. Dari Paris yang metropolis, Bretagne nan menyisakan bagian kota kuno bagai dalam komik Asterix hingga Toulouse yang dikenal sebagai Pink City karena sebagaian besar bangunannya sejak jaman dulu dibuat dari batu bata merah muda. Nikmati saja.

Perancis adalah romantisme. Saya ingat Carrie Bradshaw dalam episode terakhir Sex and The City. Meski tengah berlumur kesedihan lantaran ditelantarkan kekasihnya, Carrie tetap bisa menikmati Paris seorang diri dengan romantis. Semakin romantis lagi karena sang pangeran impian, Mr Big, akhirnya datang ...and they live happily ever after.

Episode terakhir Friends juga menghadirkan Perancis sebagai "tokoh" utama. Rachel siap terbang ke Paris untuk pekerjaan barunya. Sesaat sebelum terbang, Ross tergopoh-gopoh menyusul ke bandara, untuk menyatakan rasa cintanya. Rachel menerima ...and they live happily ever after. Meski tak ada satupun pengambilan gambar di Paris, toh sutradara dan produser serial ini sadar betul: mereka perlu melibatkan Paris untuk akhir cerita yang romantis itu.

Dalam hal ini saya terpaksa setuju. Paris memang terlalu romantis untuk dinikmati hanya seorang diri. Tak cuma Paris sebetulnya. London, Jakarta. dan seluruh tempat di belahan dunia manapun terlalu indah untuk dinikmati sendiri. Dan saya pun berujung pada satu postulat: romantis itu bukan soal dimana kita berada, tapi dengan siapa kita melewatkannya!


Friday, June 25, 2004

Kepedihan Sepakbola Inggris 

JANGAN coba-coba ajak orang Inggris bicara sepakbola. Setidaknya untuk beberapa hari ini. Negeri ini sedang dirundung duka tak berkesudahan. Para reporter televisi yang biasanya berapi-api dalam liputannya, kali ini tampil dengan suara parau hampir menangis. Para komentator BBC terduduk lemas dan tak bisa banyak bicara. Lalu lagu-lagu berirama kepedihan --persis seperti adegan kematian dalam film-- diputar mengiringi tayangan kilas balik kekalahan England atas Portugal.

Padahal, sejak pagi hari kemarin, aroma kemenangan telah meruap dimana-mana. Bendera putih berpalang merah dalam berbagai ukuran dipasang di mobil, rumah, sekolah, toko atau sekedar dibawa berjalan. Kemana mata memandang, orang mengenakan kaos bertema tim Inggris. Yang merah atau putih. Yang asli atau versi tiruannya. Semua bersatu memberi dukungan. Termasuk para orang Inggris gadungan: saya dan suami serta adik saya, Tammy, dan suaminya, Andri, yang sedang mengunjungi kami di London.

The Dream Team
Kami menonton dengan Rani dan Susilo di rumah mereka di kawasan Thamesmead. Tak mau ketinggalan, saya tampil dengan jaket England bernomor 9 milik Rooney. Jalan-jalan senyap bagai tak bernyawa. Nyaris tak ada mobil melintas sepanjang pertandingan. Orang-orang berkumpul di pub, café atau di depan televisi di rumah mereka untuk menonton pertandingan maut ini.

Ketika Inggris akhirnya takluk dengan dramatis, duka cita langsung menyelimuti negeri ini. Para penonton di pub melenggang pulang dengan lemas dan kepala tertunduk. Kami yang menumpang hidup di kampung mereka ikut merasakan nuansa kepedihan itu. Tak sanggup rasanya menonton tayangan ulang kekalahan itu. Tak kuasa rasanya membaca koran tentang berita ini.

Memang, saya sangat merasakan berlebihan sekali fanatisme orang Inggris pada tim sepakbolanya. Tiap kali kalah, dunia serasa berhenti berputar. Seperti kata Rani yang hampir lima tahun di sini, "Orang Inggris kalau kalah bola seperti ditinggal mati ibunya." Berlebihan memang. Tapi, begitulah kebanggaan dan kecintaan mereka pada tim nasional yang terkadang membikin kami iri.

Dan hari ini, tiada lain headline koran-koran Inggris kecuali kekalahan itu. Wasit Urs Meier, yang membatalkan gol Sol Campbell dengan alasan pelanggaran menjadi target cercaan. Koran kuning macam The Sun tampil dengan caci maki: Idiot Ref Robbed Beck’s Heroes. Daily Mirror memajang wajah Beckham menangis tertelungkup di lapangan dengan judul besar-besar: We Are Robbed!

Bagi orang Inggris, Euro 2004 telah berakhir di sini. Tiada lagi kemeriahan, tiada lagi semangat menonton sepakbola. Bendera dan poster yang bertebaran di rumah dan mobil dilucuti satu per satu pertanda duka cita. Padahal beberapa hari lalu, kami masih sempat ikut aksi memborong kaos merchandise asli tim England, yang didiskon dari harga aslinya 40 Pounds, khusus untuk momen Piala Euro ini. Kami juga tak melewatkan kunjungan ke Museum Madame Tussauds untuk berfoto dengan David Beckham, Michael Owen dan Pelatih Sven-Goran Eriksson. Meski hanya versi patung lilinnya.

Dan kini, di antara kesedihan atas kekalahan Inggris, satu hal yang masih bisa membuat kami tersenyum: kaos dan aneka merchandise yang harganya sangat melangit itu dijamin akan dibanting lagi!

Friday, April 30, 2004

Menikah: To Be or Not To Be 

mickey and minnie

KENAPA kamu menikah, Rin?" Saya ingat betul sahabatku Andy Yentriyani meruapkan pertanyaan ini setahun silam. Di antara tumpukan undangan yang siap diedarkan dan kebaya putih yang terhampar cantik di kursi belakang mobil, saya tak sanggup menata sebuah jawaban yang bakal memuaskan Andy yang aktivis Komnas Perempuan itu.

Benarkah untuk menikah perlu sebuah alasan? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Pemilik rumah yang saya kontrak di London ini adalah sepasang kekasih yang sudah bertahun-tahun tinggal bersama. Mereka sudah punya bayi. Mereka memilih tak menikah. "I don’t believe in marriage,"kata Vicky, sang ibu.

Jadi, apa bedanya menikah dan tidak menikah? Begini jawaban versi Ross Geller, sesaat setelah ia "tak sengaja" menikahi Rachel Greene di Las Vegas dalam Friends: "Kalau biasanya kamu mengisi kolom Miss, maka kini kamu tinggal bergeser ke kolom Mrs."

Banyak wanita menjadikan pernikahan sebagai cita-cita luhur sejak kecil. Tengoklah Monica Geller saat menjelang perkawinannya dengan Chandler Bing. Ia mengeluarkan sebuah buku yang ditulisnya sejak Sekolah Dasar tentang pernikahan impian. Lengkap dengan jenis bunga, band pengiring hingga model gaun pengantin. Lihat juga dongeng-dongeng anak yang menjadikan pernikahan sebagai puncak kebahagiaan seorang wanita. Cinderella, Snow White, Sleeping Beauty, hingga versi lokal Bawang Merah Bawang Putih. Semua ditutup dengan ...and they live happily ever after.

Saya teringat artikel Ayu Utami berjudul "Sepuluh Alasan Saya Memilih tidak Menikah" di Majalah Female sekitar dua tahun lalu. Menurut dia, ada persepsi masyarakat, ketika wanita menikah, selesailah semua persoalan hidup. Padahal, tulis Ayu -- tak seperti negeri dongeng -- pernikahan kadang berlumur pengkhianatan, perselingkuhan bahkan kekerasan.

Saya setuju. Tak seperti kisah Cinderella, pernikahan bukan puncak kebahagiaan. Ia adalah sebuah pintu baru. Bagi sebagian orang, pintu itu bisa membahagiakan, sebagian yang lain mungkin sebaliknya sehingga mereka memilih tak masuk ke pintu ini. Saya bersyukur bahwa saya --Insya Allah-- merasa berada dalam kelompok yang pertama.

Samantha Jones dalam Sex and The City menyemburkan kata-kata anti pernikahan. Menurut dia, pernikahan hanya menghalangimu untuk 'having sex anytime anywhere with anyone you want'. Saya lebih setuju pendapat Carrie Bradshaw soal wanita menikah versus lajang: We are all basically the same but sometime we live in different side of the sea.

Saya suka pendapat Carrie. Bukan karena suasana saya saat ini persis seperti Carrie saat menulis kolomnya: tengah malam di depan komputer sambil mengingat-ingat pengalaman teman-teman untuk dituangkan dalam tulisan. (Bedanya adalah: saya tidak merokok dan yang menemani di kamar adalah suami saya sendiri!). Jawaban Carrie rasanya tepat untuk sahabat saya, Diana, yang menginspirasikan saya menulis artikel ini.

Adakah pernikahan mengubah seorang Karin? Tak banyak sebetulnya. Saya bahkan tetap memakai nama ayahanda -- bukan suami-- sebagai nama belakang. Dan, jika Samantha sebal bahwa wanita yang menikah tak lagi menjadi "saya" tetapi "kami", saya justru senang memiliki dua kata ganti subyek yang bisa dipakai sesuai dengan kebutuhan.

Setahun berlalu, jika ada yang bertanya mengapa saya memutuskan menikah, jawabannya sederhana saja: Kenapa tidak?

*Saya persembahkan tulisan ini untuk sahabat-sahabat yang juga menikah tahun lalu: Tutia dan Yudi, Sasi dan Bowo, Indira dan Robby, Dewi dan Ugi, Indah dan Jamet, Taufik dan Novi, Kiki dan Trias, Monica dan Dani. Semoga tetap menjadi "pengantin baru" selamanya. Juga untuk para "pengantin lama" yang banyak memberi inspirasi: Cutri dan Pri, Rani dan Ilo, Ari dan Latif.

Tak lupa, untuk calon pengantin: adikku tersayang, Tammy dan Andri. Juga pasangan pengantin idolaku sepanjang masa: Bapak dan Mama. Serta untuk suamiku tercinta. Merekalah semangat, ilham dan kasih sayang yang tak bertepi.
*

Sunday, April 18, 2004

Skandal Beckham, Impian Tabloid Inggris 

APRIL ini adalah panen raya tabloid Inggris. Setelah lama tak menuai megaskandal pasca wafatnya Putri Diana, media massa berpesta pora mengelupas --sambil separuh berharap-- kemungkinan retaknya pernikahan David Beckham. Pemantiknya adalah Rebecca Loos, perempuan biseksual anak diplomat Inggris di Spanyol yang mengaku sebagai pacar gelap "Mister Posh" itu.

Wawancara eksklusif Loos di Sky TV menjadi "wajib tonton" pada Jumat malam. Saya tak mau ketinggalan meringkuk di depan televisi, meski dengan mata setengah terkatup pada jam 11 malam itu. Kita belum tahu dusta atau jujurkah dia. Yang jelas, dalam satu minggu ini, tabungan Loos sudah bertambah satu juta pound lebih. Sky mengganjarnya 750 ribu dan tabloid News of The World 350 ribu untuk membeberkan kisah cintanya dengan Beckham.

Inilah berita menghebohkan dari daratan Britania pekan ini. Sesudah Pangeran Charles dan almarhumah Diana, David dan Victoria adalah pasangan paling banyak diberitakan di tabloid Inggris. Jika keluarga kerajaan itu identik dengan pernikahan bermasalah, maka pasangan Beckham adalah rumahtangga impian.

Tak heran jika dongeng Nona Loos ini pun dijuluki story of the decade. Maklum saja, Beckham adalah sebuah imej yang terjaga, merek yang terpelihara. Pemain sepakbola yang bersih (tidak merokok, minum atau "main perempuan"), family man yang setia pada keluarga dan bintang iklan jaminan larisnya sebuah produk. Dia sukses dikemas sebagai suri tauladan Inggris. Baru pekan lalu, autobiografinya, My Side --yang menginspirasikan judul blog ini-- mendapat penghargaan British Book Award 2003 sebagai biografi terlaris sepanjang tahun.

Publik Inggris mencintai Beck, tapi "membenci" Posh. Ia tak habis-habis dihajar oleh tabloid Inggris yang terkenal kejam memangsa gosip. Ia disebut sebagai penghambur uang, pendompleng popularitas hingga terlalu bossy terhadap orang-orang di sekeliling suaminya. Bahkan, dua tahun lalu, ia dihadiahi gelar wanita berkostum terburuk. Semodis apapun penampilannya, Posh tak bisa lepas dari cercaan sebagai gadis Essex yang kampungan. Dia memang berasal dari daerah Essex yang dikenal kurang gemerlap di Inggris.

Setiap kali Beck tersengat masalah, telunjuk kesalahan langsung diarahkan ke Posh. Ketika rumahtangganya sempat diisukan retak dan ia bicara kepada pers, News of The World dengan sinis menulis: Posh tak sedang memperbaiki pernikahannya, tapi menjaga agar mesin pencetak uangnya tidak lepas darinya. Seperti juga saat ini, saat David dirundung kasus skandal seks, tebak saja siapa yang disalahkan media.

Posh dan Beck –tak pernah ditulis sebagai Beck dan Posh-- memang berita nan tak pernah gersang. Tak terhitung program televisi didedikasikan khusus untuk mereka. Spend It Like Beckhams berkisah tentang pengeluaran keluarga ini. Termasuk soal rumah mahal mereka di Hertfordshire yang oleh pers disebut sebagai The Beckhingham Palace. Ada pula The Years of Posh and Beck dan The Fabulous Beckhams. Bahkan, sebuah sinetron di televisi berjudul Footballer’s Wife dibuat sebagai sindiran terhadap istri pemain sepakbola. Tepatnya: sindiran terhadap Nyonya Beckham. Pemerannya dicari yang semirip mungkin dengan Posh dan Beck.

Saya yang baru sebentar di negeri ini sudah lumayan muak dibombardir Posh dan Beck. Tapi tidak bagi warga Inggris. Buktinya, acara-acara yang kadang diputar ulang itu tetap saja mendulang penonton dan –tentu saja-- iklan.

Survey yang diadakan Superbrands, lembaga independen peneliti merek paling bergengsi di Inggris, mencuatkan Beck sebagai selebriti paling cool sepanjang 2002 dan 2003. Mayoritas responden (68 persen) memberi alasan: imejnya sebagai family-man. Sementara kemampuan bermain sepakbola berada di urutan kedua.

Ia juga masih menjadi bintang di Old Trafford meski bukan lagi anggota keluarga Manchester United. Wajahnya masih bertebaran di dinding-dinding stadion. Pemandu tur keliling stadion tak henti menyebut nama Beckham setiap kali menjelaskan sesuatu. Tempat duduknya di ruang ganti menjadi obyek foto paling diincar di Old Trafford. (Baca: Melawat Si Setan Merah di Old Trafford)

Segala gerak gerik Posh dan Beck selalu diteropong jurnalis gosip negeri ini. Di Madrid, Beck difoto saat berplesiran dengan Ronaldo dan Roberto Carlos. Di bawahnya tertulis: David dan dua kawannya yang berpisah dengan istri mereka dalam waktu kurang dari setahun setelah bergabung dengan Real. Spekulasi tentang keretakan pernikahannya pun merebak. Tabloid-tabloid gosip macam The Sun atau Daily Mirror merentangkan tangan lebar-lebar bagi siapa saja yang punya info tentang Beckham untuk dijadikan cerita ekskusif.

Kali ini, News of The World yang "beruntung" bertemu dengan Rebecca Loos yang kini jadi tumpuan hujatan para pecinta Beckham. Koran-koran pembela Beck menulis Loos sebagai Si Perusak Ikon Nasional. Apa boleh buat, David telanjur ditahbiskan sebagai "duta besar" sepakbola Inggris untuk dunia.

Jadi, bersiaplah, kapten tim Inggris ini masih akan terus menggelinding bukan di halaman olahraga. Harian The Independent hari ini membuat analisa marketing tentang Beckham sebagai sebuah merek dagang. Sebagian analis menilai pemberitaan negatif ini akan berdampak pada imej Beckham yang bernilai 200 juta poundsterling itu. Namun Max Clifford, seorang konsultan public relation dengan optimis menyatakan figur seorang Beckham takkan tergerus karena Loos. “Kecuali jika gosip ini terbukti benar,”katanya. Inilah pekan-pekan berkabung bagi para penggemar Beckham. Pesta pora tabloid gosip Inggris!

Friday, April 09, 2004

Masa Lalu yang Membeku di Norwich 

Kastil Norwich

Saya mendarat di abad pertengahan. Norwich di tengah hari yang berangin menyambutku. Sisa-sisa tembok peninggalan Romawi membentang membelah kota. Kastil berusia hampir satu milenium yang dibangun oleh bangsa Normandi menengadah menantang langit. Gereja-gereja kuno bertebaran di segenap pelosok kota. Yang tertua adalah Gereja Katedral yang dipancangkan pada 1096. Sungguh, Norwich adalah masa lalu Inggris yang terpelihara.

Dua jam berkereta dari London, saya tiba dan segera jatuh hati pada ibukota East Anglia ini. Selangkah dari stasiun, kanal dengan perahu-perahunya menyongsongku. Saya berdiri di sisi jembatan. Melanglangkan pandangan ke sisi lain kota. Sambil menyesap udara yang kian menghangat hari itu. Saya berjalan menapaki pusat kota. Perjalanan memasuki lorong masa lalu pun dimulai.

Sejauh mata memandang, bangunan tua yang dibangun oleh penguasa pada masanya – Normandic, Romawi dan Anglo-Saxon— menghampar megah. Bersanding damai dengan bangunan dan pertokoan modern. Tak terbayangkan bahwa di suatu masa, sejarah kelam pernah menerpa Norwich. Pada abad empat belas, Revolusi kaum tani menggelegak. Rumah-rumah orang kaya dan pejabat pemerintah dibakar. Termasuk beberapa bangunan lambang kemakmuran masa itu. Pasukan pemberontak dibawah junjungan mereka Robert Kett mengambil alih tampuk kekuasaan. Kett akhirnya dibekuk oleh tentara kerajaan. Hidupnya tamat di tiang gantung di Kastil Norwich.

Saya melangkah ke Royal Arcade, pusat perbelanjaan di lorong yang terjaga keasliannya sejak masa lalu. Pun toko-toko tua yang tetap setia di situ. Termasuk Toko Mustard Colman’s yang sudah ada sejak 200 tahun silam dan dikenal sebagai mustard terbaik dan terlegendaris se-Inggris. Kios bergaya Victoria ini kini dilengkapi museum sejarah mustard. Saya tak suka saus mustard, tapi begitu terpesona pada museum kecil ini. Terkagum-kagum pada semangat memelihara sejarah, sekecil apapun itu. Saya juga teringat High Wycombe, penghasil mebel terbesar di masa lalu Inggris (seperti Jepara di Indonesia). Di sana didirikan Museum Kursi untuk mengenang sekeping sejarah itu.

Elm HillAda pula Elm Hill, sebuah sudut dan jalan tertua di Norwich. Sederet kios, cafe dan rumah tua di jalan berbatu -- yang sepintas mengingatkan saya akan setting dalam komik Asterix -- berbaur dalam nuansa abad pertengahan. Waktu seakan tak mampu menggerus bagian kota yang satu ini.

Bis membawaku ke University of East Anglia. Kampus luas dan megah dengan hutan dan danau mengitarinya. Angsa-angsa Norwich menyambutku. Sahabat-sahabat menantiku: Patris, Omi, Taufik, Novi, Ester, Bang Rizal, Mas Dono dan semua teman PPI Norwich. Terimakasih telah menghidangkan akhir pekan yang menyenangkan.