<$BlogRSDUrl$>

Monday, December 29, 2003

Harrods dan Ritual Tahunan itu 

Harrods Sale

KERIUHAN itu bernama Harrods Sale. Ia bagian dari ritual akhir tahun orang Inggris yang membuat kawasan Knightsbridge seperti berderak oleh massa. Itu berlangsung sejak malam. Para calon pembelanja menggelar tenda, kantung tidur dan bekal, untuk bisa berada di baris terdepan, saat pintu kayu terakotta Harrods dibuka.

Mereka juga menanti saat-saat yang teramat jarang, bertemu seorang selebriti dunia yang dihadirkan sebagai bagian ritual ini. Semula dijadwalkan, tahun ini giliran Michael Jackson. Tapi, lantaran mega bintang pop dari Amerika Serikat itu tersandung kasus, ia digantikan Jennifer Love Hewitt.

Tepat jam sembilan pagi, Muhammad Al Fayed, sang juragan, melangkah ke gerbang toko seluas enam hektar diiringi hitungan mundur hadirin. Dan pesta pun dimulai.

Al-Fayed bak membuka gerbang tanggul. Orang-orang menyerbu seperti air bah. Kalap. Mereka bak orang kelaparan melihat makanan. Berlari dan menyergap benda-benda incaran. Kerumunan tak hanya terjadi di pintu gerbang, tapi di seluruh kawasan itu. Bahkan Stasiun Knightsbridge hari itu seolah di-booking untuk konsumen Harrods.

Antrian yang melingkar-lingkar menyambut mereka yang turun dari kereta. Satpam-satpam Harrods, dengan topi hijau tingginya yang khas, bahkan khusus ditempatkan di mulut tangga stasiun untuk mengatur luapan massa.

Pada hari itu, sopan santun orang Inggris sejenak mereka lupakan. Tiada kalimat Excuse Me atau Iā€™m Sorry yang begitu kerap mereka ucapkan dalam setiap kesempatan. Yang ada, histeria para penggila belanja. Tabrak sana dan dorong sini sekadar mengambil benda yang mereka taksir. Tak heran, gunungan barang cepat menyusut.

Orang-orang berhimpitan. Saya ingat suasana kereta Depok-Manggarai saat jam pulang pergi kantor. Seorang wanita dengan nada tercekat tiba-tiba menjerit, ā€œI have to get out. I can't breathe,ā€ katanya seraya merentang tangan meminta jalan.

Kendati sesak, hari itu -- dan sebulan mendatang -- Harrods benar-benar memanjakan pengunjungnya. Deretan butik supermewah seperti DKNY, Christian Dior, Prada dan Gucci, seperti lapak-lapak di Pasar Blok M. Tinggal memunguti apa saja yang bisa diraih, lalu bergegas melompat ke counter lain. Itupun kalau sukses menembus kerumunan massa.

Ingatan saya langsung melayang ke peristiwa penjarahan Mei 1998, saat massa menerjang pusat perbelanjaan dan pasar swalayan di Jakarta dan bebas mengambil apa saja. Massa yang berdesakan juga mengingatkan saya akan Tanah Abang yang sumpek dan berjubel menjelang lebaran. Tapi di Harrods tak ada penjarahan. Mereka tetap akan mengantri di depan kasir dan membayar belanjaan.

Harap maklum, diskon di Harrods memang legendaris. Di hari biasa, hanya mereka yang benar-benar berkantong gemuk yang bisa berbelanja di sini. Victoria Beckham, salah satunya. Tapi, sekali dalam setahun, harga barang-barang mewah direduksi hingga 70 persen. Di hari-hari awal, harga sepatu memang hanya turun dari 600 menjadi 400 pounds, coat dari 700 jadi 550 pounds dan tas dari 800 ke 500 pounds. Angka yang tetap saja sangat mahal buat saya.

Tapi, tunggu menjelang masa Sale berakhir 24 Januari nanti -- kalau barang-barang incaran itu masih dipajang. Harga akan kian merangsek turun. Kalau beruntung, pakaian anak bermerek Kenzo, Elle atau Tommy Hilfiger yang normalnya berharga 50 hingga 100 pound, bisa melorot hingga cuma 5 sampai 10 pounds. Seorang teman sukses memboyong jaket kulit yang harga normalnya 229 pounds menjadi cuma 20 pounds.

Potong harga gila-gilaan ini menjadi wajib bagi Harrods. Soalnya, apapun yang terjadi, barang-barang itu musti bersih karena Harrods siap melempar koleksi barunya untuk musim penjualan berikut. Jadi bukan diskon pura-pura seperti di pusat perbelanjaan di Jakarta. Harga sudah dinaikkan dulu sebelum akhirnya "didiskon".

Sebagai penggembira, saya cukup berbahagia berkutat di Harrods World, bagian penjualan cenderamata berlambang Harrods. Tas, tempat pensil, cangkir, boneka, hingga kopi dan teh dalam kaleng yang didesain khusus dan antik. Sangat layak untuk jadi oleh-oleh ke tanah air. Di bagian ini, harga didiskon 50 persen. Sampai rumah, benda-benda itu saya bungkus rapi untuk dikirim ke Jakarta. Di sisinya, sepatu boot yang saya beli setengah harga juga terpajang dengan gagah. Padahal, ukuran kanan dan kirinya berbeda lantaran tak teliti saat ikut berebut dengan pembelanja lain di Next, sehari sebelumnya.



Saturday, December 20, 2003

Master of Self Cooking 

Bersantap adalah hobi saya. "Memamah biak", begitu istilah di keluarga saya. Sebut saja tempat makan terkenal di Jakarta --dari kelas tenda biru sampai hotel bintang lima (yang ini, sih, biasanya, diundang)-- sebagian besar sudah pernah saya jejaki. Favorit saya dan suami: seafood! Di kala tanggung bulan, idola kami adalah seafood di perapatan Jalan Otista, Jakarta Timur. Murah meriah dan bumbunya mirip-mirip masakan Jepang, meskipun tempatnya agak "tak layak bagi kemanusiaan" alias kurang memadai: di pinggir jalan dan dihempas debu.

Namun, hobi menyantap tak selamanya berbanding lurus dengan memasak. Setidaknya buat saya. Maklum, di Jakarta yang sarat pilihan makanan dan Bibik yang setia setiap saat di rumah, manalah terpikir saya berkreasi sendiri di dapur. Teringat ucapan teman saya, Andy Yentriyani, aktivis Komnas Perempuan. "Di masyarakat kita yang patriarkis, wanita pandai memasak memang sudah seharusnya. Tapi kalau pria pandai memasak, itu dianggap keahlian khusus dan dihargai secara profesional. Itu sebabnya, pekerjaan koki didominasi oleh pria," katanya berapi-api, saat kami sedang makan di kantin belakang Widjojo Centre, setahun silam.

Tapi tentu bukan ucapannya itu yang membuat saya kini berubah haluan menjadi tukang masak. Bukan pula semangat untuk mengalahkan para koki pria itu. "Profesi" baru saya sebagai chef amatir di rumah lebih karena kebutuhan perut, sejenis cara bertahan hidup di rantau. Teringat minggu-minggu pertama saya di London, hampir setiap hari makan di luar.

Restoran yang saya datangi di hari pertama di sini adalah sebuah kedai masakan Jepang di Soho (lebih dikenal sebagai Chinatown) di kawasan Leicester Square. Bertiga dengan Fianti dan Dina, dua kawan baik di kota ini, kami menghabiskan hampir 15 pounds (sekitar 225 ribu rupiah) untuk hidangan nasi berselimut telur dadar dan sayuran plus Diet Coke kaleng. Serta merta terbayang Warung Ijo --tempat saya dan rekan-rekan TEMPO biasa bersantap di dekat kantor di Jalan Proklamasi, Jakarta-- yang paling-paling hanya menguras lima ribu rupiah untuk hidangan serupa itu.

Hari-hari pertama saat masih menumpang di rumah keluarga Liston Siregar, wartawan BBC, saya berlatih membuat pizza, spaghetti dan sandwich sebagai hidangan utama. Namun lama kelamaan, perut Melayu saya yang puluhan tahun dibesarkan dengan nasi dan sayur asem ini merindukan penganan tanah air. Salah satu tempat favorit mahasiswa Indonesia adalah Nahar Malaysian Restaurant di Sussex Garden, Paddington. Menunya pas dengan lidah kami: nasi lemak (alias nasi uduk), soto ayam sampai sambal belacan ada di sini. Cuma, ya itu tadi, sekali makan paling tidak bisa 7 pounds. Sesekali bolehlah, tapi kalau setiap hari?

Tak pelak, jalan keluarnya adalah memasak sendiri. Bagaimana caranya? Trial and Error. Untunglah, di London bermukim kawan saya Rani Susilo, wartawati Jawa Pos. Rani adalah empu kuliner. Di tangannya, aneka masakan yang tak terbayangkan ada di London -- seperti buntil, sop buntut, opor ayam hingga pempek -- tercipta. Di sela-sela tugas liputannya, dan mengurus putri tiga tahunnya yang cantik, Kirana, Rani juga kerap menerima pesanan makanan dari orang-orang Indonesia di sini. Telanjur dikenal, ia membuka situs khusus.

Beberapa kali di akhir pekan, saya menginap di rumah mereka di kawasan Thamesmead, sebuah perumahan di bibir sungai Thames, London Tenggara. Saya mengamatinya berkiprah di dapur sambil sesekali mencatat di notes. Persis seperti saya sedang mewawancarai narasumber. Dari Rani saya belajar istilah-istilah dasar memasak (semisal: tumis, kukus, sangrai) dan jenis-jenis bumbu dan terjemahannya dalam bahasa Inggris. Komentar saya waktu itu, jangankan dalam bahasa Inggris, lha wong dalam bahasa Indonesia saja saya tidak tahu! Saya juga baru sadar bahwa bawang putih adalah sumber dari segala sumber hukum, eh, masakan.

Karya pertama saya adalah tumis brokoli jamur. Alhamdulillah enak. Setidaknya menurut saya dan teman satu rumah saya, Ali, asal Turki yang pernah menjadi koki di restoran kebab. Selanjutnya, dengan modal dasar bawang putih, garam dan lada, saya mulai percaya diri membuat aneka masakan. Mulai dari rendang, mie goreng, martabak, sup tom yam dan aneka rupa sambal yang kini jadi "ujung tombak" meja makan kami. Setiap menelepon ke rumah di Jakarta dan bercerita bahwa saya sudah bisa memasak, Mama selalu tertawa dengan nada tak percaya, "Ah, masa?" katanya, meragukan. Suami saya sebelum tiba di sini juga bereaksi serupa. Maklum saja, mereka masih mengingat saya yang dua bulan sebelumnya cuma bisa menyiram Indomie.

Kini, hampir empat bulan saya di London, kemampuan masak rasanya sudah bisa dibanggakan. Setidaknya, kami sudah berani mengundang orang makan di rumah. Untunglah London bukan tempat yang sulit mencari jenis makanan atau bumbu khas Indonesia. Datang saja ke Chinatown, segala tersedia. Kecap, sambal, terasi (dengan merek dari Indonesia, seperti ABC), Indomie berbahasa Inggris atau Belanda, termasuk tahu dan tempe yang di sini menjadi makanan mewah karena langka dan mahal. Mau yang halal dan lebih komplit? Datang saja ke Upton Park Market, pasar daging halal terbesar se-London, yang lokasinya selangkah dari markas klub sepakbola West Ham.

Kami juga beruntung tinggal dekat Lewisham Market yang menjual aneka sayuran segar yang biasa kami santap di Jakarta, seperti terong, pare dan labu siam. Tentu dengan nama yang berbeda. Terong, misalnya, namanya sungguh cantik di sini: Aubergine. Bahkan suami saya yang hobi mengekplorasi pasar itu berhasil menemukan toko yang menjual ikan asin. Maka, dengan bangganya, kami di negeri orang bisa menyantap ikan asin dan sambal terasi. Bedanya, kini kami memasak sendiri.

Jadi, kalau nanti pulang kampung, saya bisa bawa dua gelar. Salah satunya: MSc alias Master of Self Cooking!