<$BlogRSDUrl$>

Tuesday, January 27, 2004

Amy Mencari Cinta 

Ratu Elizabeth dan anjingnya

“Nama saya Amy. Saya tinggal di Merseyside. Saya suka ke pantai, menikmati debur angin dan butiran pasir. Saya tak bisa diajak pergi, tapi bersedia dikunjungi kapan pun.”

Tulisan di selebaran yang saya temukan di Stasiun Charing Cross, Central London, sungguh menggoda. Di bawahnya terpampang wajah Amy: berkuping lebar, berbulu belang hitam dan putih dengan lidah yang dijulur-julurkan. Dia memang bukan wanita penghibur yang mengiklankan diri di majalah-majalah pria. Amy kita kali ini adalah seekor anjing boxer yang lebih tepat disebut seram ketimbang seksi. Dan iklan itu dibuat oleh Dogs Trust, lembaga sosial yang mengurusi kesejahteraan anjing di Inggris.

Setiap anjing berhak mendapat cinta kasih dan perhatian, itu motto organisasi ini. Dalam brosurnya tertulis: Kami akan terus bekerja sampai semua anjing hidup bahagia. Saya tersenyum miris. Di negaraku, jutaan orang telantar dan rasanya belum ada satu lembaga pun menyatakan ‘akan terus bekerja sampai semua orang hidup bahagia’.

Di sini, anjing mendapat perlakuan yang teramat istimewa. Tak pernah dijadikan kata makian --anjing kurap, anjing buduk atau asu -- apalagi disia-siakan. Itu sebabnya London dan seantero Inggris nyaris bersih dari anjing liar. Semua punya pemilik. Atau, ya itu tadi, diasuh oleh lembaga penyantun anjing. Dog Trust saja mengasuh sekitar 11.500 anjing telantar di lima belas ‘panti asuhan’ di seluruh Inggris Raya. Dananya, antara lain, didapat dari donasi para pecinta hewan menggonggong ini. Jika tertarik, Anda bisa mengadopsi anjing-anjing ini, termasuk Amy.

Kecintaan orang Inggris pada anjing bisa dilihat di semua tempat. Kemanapun Anda melangkah di London, selalu ada anjing, anjing dan anjing! Di taman, jalan raya, mobil pribadi bahkan bis dan kereta. Meski sebenarnya dilarang membawa anjing di kereta atau tube (kereta bawah tanah), sesekali tetap saja ada yang nekad. Tinggallah saya waspada melihat tampang anjing yang kadang teramat seram seperti serigala atau beruang. Banyak juga yang imut-imut dan menggemaskan seperti jenis pudel atau terrier yang kerap dimasukkan dalam tas dengan kepala mencuat keluar.

Keluarga Istana Buckingham tak kalah kencang kecintaannya pada anjing. Para anggota tak resmi Royal family ini juga kerap menjadi berita di media-media Inggris bahkan dunia. Ketika Pharos, corgi kesayangan Ratu Elizabeth tewas digigit Dotty, bull terrier milik Putri Anne, Desember lalu, semua media Inggris menulisnya di halaman satu. Stasiun-stasiun televisi --termasuk BBC-- sepanjang hari menyiarkan perkembangan tewasnya anjing malang itu.

Ratu memang dikenal pecinta anjing. Sepanjang tahtanya, ia memiliki lebih dari 30 anjing. Sebagian besar adalah corgi. Almarhum Pharos bahkan memiliki mangkuk khusus yang diletakkan di meja makan Sang Ratu untuk mereka makan bersama. Anjing itu juga kerap menyelinap ke ruang pertemuan istana. Termasuk saat Presiden George Bush bertamu ke Buckingham, November lalu.

Begitulah. Banyak orang di London yang memilih hidup hanya berteman anjingnya. Tidur seranjang dan makan dari piring yang sama. Tak heran kalau sempat ada kasus orang meninggal di rumah dan baru diketahui tetangga beberapa hari kemudian, lantaran dia cuma tinggal berdua dengan sang anjing.

Salon hingga butik khusus anjing juga bertebaran di London. Salah satunya The London Dog, yang menjual aneka kostum dan aksesori anjing. Pakaian resmi, jas hujan, baju mandi dan evening wear. Anjing-anjing London memang hebat nian. Lain kesempatan, lain pula dresscode-nya.

Bagi kaum tunanetra London, anjing bukan sekedar sahabat, tapi ‘nyawa kedua’. Saya ingat kisah seorang tunanetra yang pekerjaannya membetulkan piano. Salah satu pelanggannya adalah keluarga Liston Siregar yang menceritakan kisah ini pada saya. Tiap kali datang, si bapak ditemani anjing yang berperan sebagai ‘mata’ baginya. Si anjing menuntun dia berjalan, menyeberang, naik tangga hingga mengetuk pintu. Pertamakali, istri Pak Piano akan ikut dan menunjukkan rute pada si anjing. Kedua kali dan seterusnya, hewan berkaki empat ini akan mengingat rute yang sama dan membawa tuannya ke tujuan. Tanpa pernah salah sekalipun.

Saya belum sempat bertanya bagaimana cara sang juragan memberi perintah pada anjingnya untuk membawanya ke satu tempat.

Thursday, January 15, 2004

Bila Blair Menjemput Keluarga Simpson 

homersimpson

SIAPA ayah idola anak-anak Inggris? Bukan David Beckham yang selalu mesra dengan Romeo dan Brooklyn di tengah hiruk pikuk kesibukannya. Bukan pula Tony Blair yang sibuk menebar kesan sebagai family man di hadapan publiknya. Ayah idaman anak-anak Inggris adalah Homer Simpson.

Setidaknya itulah hasil penelitian Fakultas Psikologi Universitas Lancaster, UK, yang dipublikasikan BBC dan The Guardian. Keluarga Simpson -- Homer, Marge, Lisa, Bart dan Maggie -- adalah tokoh kartun ciptaan Matt Groening yang ketenarannya menjelajah berbagai belahan dunia. Majalah Time edisi penutup abad bahkan menyebut The Simpsons sebagai show terbaik dalam sejarah pertelevisian.

Di Inggris, The Simpson menuai popularitas tertinggi pekan ini, saat Perdana Menteri Tony Blair menjadi bintang tamu. Ini sedikit mengobati kekecewaan orang Inggris karena David Beckham terpental dari daftar calon bintang tamu lantaran dianggap “belum cukup terkenal”.

Dalam episode Regina’s Monologue ini, keluarga Simpson bertandang ke London. Tiba di bandara Heathrow, mereka disambut Blair yang disangka Mr Bean oleh Homer. Lantaran tak sengaja menabrak Ratu Elizabeth --sayang, dia tak ikut mengisi suara-- Homer dipenjara di Tower of London. Dalam tahanan, ia berdoa, ”Dear God of England, if you let me go I will spell color with a 'u'." Lelucon cerdas. Khas The Simpsons.

Sudah tradisi film ini kerap menghadirkan bintang tamu berbagai tokoh dunia. Blair bukan orang Inggris pertama. Paul McCartney, Ringo Starr, Elton John sempat mendahului. Dari Hollywood, ada Liz Taylor, Mel Gibson, Meryl Streep, Kathleen Turner dan masih banyak nama. Dari deretan politisi, Bill Clinton sudah pernah hadir. Ada juga yang enggan. Bapak anak George Bush menolak menjadi bintang tamu lantaran film ini dianggap “tidak bermoral dan subversif”.

Downing Street semula juga sempat tak setuju Blair tampil dalam film kartun ini. Mereka takut Blair akan nampak konyol seperti pudel Amerika. Namun akhirnya, setelah delapan bulan menimbang-nimbang, Downing Street akhirnya mengangguk. Tentu saja dengan pertimbangan politik untuk menaikkan popularitas Blair yang merosot drastis di negerinya sendiri, pasca perang Irak. “Saya cuma ingin menyenangkan anak saya dan seluruh anak Inggris,”kata Blair, diplomatis.

Tak semua negara girang ditampilkan dalam film ini. Kedatangan Homer dan rombongan ke Rio de Janeiro pada 2002 sempat berbuah tuntutan. Dalam episode itu, polisi Brazil digambarkan malas dan tak mau menolong orang, anak-anak kecil sudah menjadi copet dan semua supir taksi tak punya ijin dan suka merampok penumpangnya. Presiden Fernando Henrique Cardosa menyatakan episode itu "memberikan gambaran buruk tentang Brazil dan dapat mempengaruhi minat orang untuk berkunjung". Matt Groening dan timnya terbang ke Rio untuk menyatakan permohonan maaf secara resmi.

Di Indonesia, saya berkenalan dengan The Simpsons semasa berseragam putih abu-abu lewat RCTI. Saya ingat betul, tiap Rabu sore, duduk manis di depan televisi menanti kehadiran Homer, Marge, Lisa, Bart dan Maggie. Sungguh kebetulan, teman-teman sekelas di Dua Fisika Satu kala itu juga menggemari film yang sama. Tiap Kamis, kami pun mereportasekan kembali episode sehari sebelumnya. Sambil tertawa terbahak-bahak. Di penghujung semester, kami sepakat membuat kaos kelas dengan gambar Bart mengacungkan pistol. Di atasnya tertulis: Physics or Die! Kaos itu masih tersimpan rapi di lemari, membuat saya tersenyum tiap melihatnya.

Satu hal yang agak mengecewakan. Tak satupun film The Simpsons dijual di Indonesia. Walhasil, saya musti repot-repot membelinya di negara orang. Alangkah gembiranya saya karena London sungguh bergelimang The Simpsons. Bukan cuma DVD, tapi juga beragam benda berlabel atau bergambar keluarga ini, yang sangat layak dikoleksi. Kini, tiap hari jam 6 sore, Homer sekeluarga hadir di BBC Two. Membuat saya selalu ingin cepat pulang dan menanti Homer mengucap petuah sakti: "You tried your best and you failed miserably. The lesson is: never try." D’oh!

Saturday, January 10, 2004

Selamat Ulang Tahun, Tintin 

TINTIN ULANG TAHUN

SEORANG sahabat berulang tahun hari ini. Sejak kecil dia menemani saya di rumah, sekolah hingga --kini-- di kantor. Bahkan fotonya saya jadikan wallpaper di komputer. Tak terasa usianya sudah 75 tahun. Namun tak ada yang berubah darinya: tetap muda, berjambul dan selalu diiringi Snowy, anjing kecilnya. Dialah Tintin, wartawan petualang dari Belgia.

Hari ini, tiga perempat abad silam, George Remi alias Herge "melahirkan" Tintin di Brussel. Dan seluruh dunia pun merayakan ulang tahun Tintin. Di London, perayaan berpusat di Museum Maritim Nasional, Greenwich. Aneka pernak pernik Tintin dan Herge akan dipamerkan mulai Maret hingga September mendatang.

Di tanah tumpah darahnya, Brussel, otoritas keuangan mengeluarkan koin pecahan 10 Euro bergambar Tintin dan Snowy. Ya, Tintin bukan sekedar tokoh kartun. Ia adalah ikon Belgia. Buku panduan perjalanan terbitan Lonely Planet tentang Belgia memajang gambar Tintin di sampulnya. Meski begitu, Tintin sebenarnya adalah milik dunia. Berbagai negara merayakan hari istimewa ini dengan aneka cara.

Saya mengingat deretan koleksi yang masih memenuhi kamarku di Jakarta. Komik, video compact disc, poster, boneka, t-shirt dan segala yang berbau Tintin. Setiap bertandang ke negara orang, saya selalu berburu koleksi Tintin dari berbagai bahasa.

Ah, saya memang terlalu mencintai teman yang tak pernah tua ini. Profesinya sama dengan saya: wartawan. Meskipun saya kadang heran mengapa dalam semua petualangannya sebagai reporter koran Le Petit Vingtième, ia tak pernah sekalipun menghasilkan karya jurnalistik.

Toh, pemuda berjambul ini mengajarkan banyak hal pada saya. Pengetahuan saya tentang geografi dunia --mohon maaf-- bukan didapat dari bapak dan ibu guru Sekolah Dasar yang sibuk menyuruh murid menghapal 36 butir-butir Pancasila. Semua itu, pertama kali saya dapatkan dari Tintin. Tentang Tibet dengan Yeti-nya, Bolivia dan patung Arumbaya-nya, Peru dan suku Inca-nya, Timur Tengah dan krisis minyaknya. Sungguh, saya ikut berkeliling dunia bersamanya.

Saya ingat dia pernah "mampir" di Jakarta dalam Penerbangan 714. Bersama Kapten Haddock, Profesor Kalkulus dan Snowy, dia transit di bandara Jakarta yang, sayangnya, tak pernah jelas nama bandaranya. Saya merekam adegan itu. Di ruang tunggu mereka bertemu seorang bertampang lusuh. Haddock jatuh kasihan dan menyelipkan derma. Ternyata, si lusuh adalah miliarder Careidas. Ia terbang dengan pesawat pribadi dan mengajak Tintin bergabung. Dalam perjalanan, pesawat itu dibajak dan Tintin dibawa ke sebuah pulau, bertemu dengan musuh abadinya: Rastapopoulos.

Yang terakhir ini, belakangan saya tahu adalah nama tipikal Yunani. Di kampus saya bergaul dengan teman-teman dari negeri itu. Setiap mereka menyebut nama keluarga --antara lain Markostamos, Dimitrious dan Papodopoulos-- saya langsung tersenyum dan dalam hati tergoda untuk bertanya: kamu siapanya Rastapopoulos?

Selain Tintin, idola saya adalah Kapten Haddock yang hobi menyemburkan sumpah serapah: "sejuta topan badai" dan "babon bulukan". Awalnya, sih, saya dan adik di rumah sering menyebut dua makian Haddock itu sebagai bahan ledekan. Namun, lama kelamaan saya akhirnya keterusan memakai kata "babon bulukan" jika sedang kesal dan menggerutu seorang diri. Terutama saat menyetir membelah kemacetan dan kacaunya lalu lintas Jakarta.

Hari ini, tujuh puluh lima tahun sudah usia sahabat saya. Sebaya dengan mendiang kakek dan nenek saya. Tapi Tintin tetap muda dan akan terus muda. Herge telah berpulang dua puluh tahun lalu, tapi karyanya tetap hidup dan tak lekang dimakan masa. Selamat ulang tahun, Tintin, sahabatku

Friday, January 09, 2004

Diana, Kematian yang “Dinikmati” Dunia 

Pernikahan Diana

DIANA Spencer tak pernah benar-benar mati. Pekan pertama 2004, sang putri kembali menjadi berita di halaman depan koran-koran Inggris. Kabar itu datang dari markas Kepolisian Inggris, yang untuk pertamakali mengumumkan akan menyelidiki sebab musabab kematian sang Lady. Sebelumnya, mantan dokter kerajaan bahkan perlu repot-repot menggelar konferensi pers untuk menyatakan Diana tak sedang hamil di saat maut menjemput.

Televisi tak kalah meriah memberitakan soal ini. Channel Four, misalnya, selama tiga hari berturut-turut menayangkan program Di’s Guys. Isinya, apalagi, kalau bukan aneka teori konspirasi di balik tewasnya sang putri. Stasiun televisi itu mewawancarai orang-orang yang sempat bersentuhan dengan kehidupan Diana. Dari penata rambut, instruktur senam, penulis buku, hingga bekas pengawal. Potongan-potongan cerita itu pun dirangkai dalam bentuk rekontruksi.

Saya merasa tak ada informasi baru dalam tayangan itu. Bosan. Informasi yang sama dikunyah-kunyah dan diluncurkan jadi berita. Tapi tidak bagi publik Inggris. Berita apapun tentang Diana adalah hidangan lezat yang tetap nikmat meski sudah disuguhkan berulang-ulang. Teori konspirasi yang berkembang membuat kisah-kisah Diana kian gurih.

Salah satu teori menyebut, bukan Diana dan Dodi yang tewas dalam kecelakaan di Paris itu. Kedua sejoli itu sengaja mengatur skenario supaya bisa hidup aman tenteram jauh dari pers dan publik nun di sebuah tempat terpencil. Boleh juga teorinya!

Isu yang lebih “seram”: Diana dibunuh karena rencana pernikahannya dengan seorang muslim bisa merusak kemapanan Inggris dan Royal Family-nya. Seperti dikisahkan kawan-kawan dekatnya, Diana saat itu memang tengah sibuk mempelajari Al Qur’an dan siap menjadi muallaf.

Dari semua itu, satu hal yang pasti: Diana adalah berita yang melampaui samudera, benua dan waktu. Saya ingat, saat masih kelas satu Sekolah Dasar, saya terpana menonton upacara pernikahan Putri Diana dan Pangeran Charles di TVRI. Gaun pengantin putih panjang yang terseret-seret di karpet merah, mahkota bertatahkan permata dan kereta kencana ditarik delapan kuda. Sebagai generasi yang dibesarkan dengan dongeng Cinderella, itulah impian kanak-kanak saya tentang sebuah pernikahan.

Beberapa bulan setelah kematiannya di tahun 1997, dalam sebuah perjalanan ke Paris, saya sempat datang ke terowongan de l’Alma, menatap karangan bunga yang masih membukit, sambil ikut menyelipkan doa untuknya.

Kini, saya datang ke negeri Diana, ketika “Cinderella” itu telah tiada. Saya hanya bisa menyusuri jejak kakinya yang diabadikan di jalan setapak yang membelah Hyde Park yang penuh guguran daun marble. Lewat foto dalam bingkai emas yang dipajang di salah satu sudut berlatar Mesir di Harrods. Dan tentu saja, lewat berita-berita di media Inggris yang tak jua jeda tentang Diana. Kehidupan dan kematiannya.



Thursday, January 01, 2004

Dentang Pertama Big Ben 2004 

big ben

Di kaki Big Ben saya berada. Ketika jam raksasa di pucuk menara Parliament Buiding itu pertamakali berdentang di 2004, saya dan ratusan ribu pengerumun bersorak. Pada detik-detik itu, massa serentak menghitung mundur, “Nine, Eight, Seven...” Namun di antara gemuruh itu, ada teriakan sumbang yang membuat orang menoleh. Itulah suara saya dan sepuluh sahabat setanah air yang menjerit dalam bahasa Indonesia, “Sembilan, Delapan, Tujuh...”

Histeria terus bergulir saat London Eye –seperti Bianglala di Dunia Fantasi, Jakarta – memercikkan kembang api dari setiap kereta gantungnya. Langit di atas Sungai Thames pun berwarna-warni dan berpendar.

Sekumpulan turis Spanyol membawa gitar dan memainkan musik flamingo. Wajah-wajah aneka bangsa larut dalam keriaan itu. Tapi yang paling saya perhatikan (dan waspadai!) adalah gerombolan pemuda Inggris dengan anggur, wiski atau sampanye di tangan. Mereka berteriak-teriak kesetanan, menendang botol bekas minuman dan –ini yang berbahaya— melempar mercon ke kerumunan orang. Saya langsung teringat hooligan yang identik dengan kerusuhan dalam pertandingan sepakbola Inggris.

Kemeriahan merayap dari segenap penjuru London dan memuncak di kawasan Trafalgar Square, Parliament Building hingga Westminster Bridge. Jalan-jalan ditutup. Polisi dengan rompi kuning bertebaran di setiap sudut. Wajah mereka ramah tapi tetap tegas menghalau orang yang mendekat ke Downing Street Nomor 10, rumah dinas Perdana Menteri Tony Blair, 200 meter dari Big Ben. Massa boleh melintas, tapi tak boleh berhenti, apalagi berkerumun di situ.

Saya segera terkenang Jakarta. Dimana ada kerumunan, di situ ada kerusuhan. Dari pertunjukan musik, pertandingan sepakbola, kampanye Pemilu hingga ke gerombolan pelajar pulang sekolah. Semua kerap berbuntut tawuran. Massa Jakarta juga gemar memanfaatkan keramaian sebagai momen untuk melanggar hukum. Dari menerobos aturan lalu lintas hingga tindak kriminal penjarahan.

Tapi tidak di London. Setidaknya yang saya temui tadi malam. Bapak dan ibu polisi di sini --yang tak membawa pistol dan pentungan seperti di Indonesia-- tampil sebagai pelayan publik. Dengan wajah ramah, mereka mengatur jalan, memberi informasi dan, bahkan, berfoto bersama sejumlah turis. Sungguh, tak perlu repot-repot mengusung spanduk Damai itu Indah untuk dicintai rakyat. Apalagi kalau definisi “damai” adalah membebaskan pelanggar lalu lintas yang menyelipkan fulus.

London tadi malam tak cuma ada polisi yang ramah, tapi fasilitas transportasi yang terjamin demi kenyamanan warganya pulang seusai pesta. Pemerintah lokal pada malam tahun baru menyediakan transportasi publik ekstra. Dan gratis! Warga bebas naik kereta, tube (kereta bawah tanah) hingga bis dari jam 1 hingga 5 pagi tanpa perlu membeli tiket. Walikota Ken Livingstone tahu benar bagaimana melayani dan memudahkan kehidupan warganya.

Pikiran saya melayang ke Jakarta. Teringat keluh kesah Bapak saya via telepon, kemarin. Perjalanannya pulang pergi kantor, pekan-pekan ini, kian tersendat oleh kemacetan tiada tara akibat Bus Way dan perpanjangan waktu Three in One . Ah, Indonesiaku! Selamat Tahun Baru!