<$BlogRSDUrl$>

Friday, April 30, 2004

Menikah: To Be or Not To Be 

mickey and minnie

KENAPA kamu menikah, Rin?" Saya ingat betul sahabatku Andy Yentriyani meruapkan pertanyaan ini setahun silam. Di antara tumpukan undangan yang siap diedarkan dan kebaya putih yang terhampar cantik di kursi belakang mobil, saya tak sanggup menata sebuah jawaban yang bakal memuaskan Andy yang aktivis Komnas Perempuan itu.

Benarkah untuk menikah perlu sebuah alasan? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Pemilik rumah yang saya kontrak di London ini adalah sepasang kekasih yang sudah bertahun-tahun tinggal bersama. Mereka sudah punya bayi. Mereka memilih tak menikah. "I don’t believe in marriage,"kata Vicky, sang ibu.

Jadi, apa bedanya menikah dan tidak menikah? Begini jawaban versi Ross Geller, sesaat setelah ia "tak sengaja" menikahi Rachel Greene di Las Vegas dalam Friends: "Kalau biasanya kamu mengisi kolom Miss, maka kini kamu tinggal bergeser ke kolom Mrs."

Banyak wanita menjadikan pernikahan sebagai cita-cita luhur sejak kecil. Tengoklah Monica Geller saat menjelang perkawinannya dengan Chandler Bing. Ia mengeluarkan sebuah buku yang ditulisnya sejak Sekolah Dasar tentang pernikahan impian. Lengkap dengan jenis bunga, band pengiring hingga model gaun pengantin. Lihat juga dongeng-dongeng anak yang menjadikan pernikahan sebagai puncak kebahagiaan seorang wanita. Cinderella, Snow White, Sleeping Beauty, hingga versi lokal Bawang Merah Bawang Putih. Semua ditutup dengan ...and they live happily ever after.

Saya teringat artikel Ayu Utami berjudul "Sepuluh Alasan Saya Memilih tidak Menikah" di Majalah Female sekitar dua tahun lalu. Menurut dia, ada persepsi masyarakat, ketika wanita menikah, selesailah semua persoalan hidup. Padahal, tulis Ayu -- tak seperti negeri dongeng -- pernikahan kadang berlumur pengkhianatan, perselingkuhan bahkan kekerasan.

Saya setuju. Tak seperti kisah Cinderella, pernikahan bukan puncak kebahagiaan. Ia adalah sebuah pintu baru. Bagi sebagian orang, pintu itu bisa membahagiakan, sebagian yang lain mungkin sebaliknya sehingga mereka memilih tak masuk ke pintu ini. Saya bersyukur bahwa saya --Insya Allah-- merasa berada dalam kelompok yang pertama.

Samantha Jones dalam Sex and The City menyemburkan kata-kata anti pernikahan. Menurut dia, pernikahan hanya menghalangimu untuk 'having sex anytime anywhere with anyone you want'. Saya lebih setuju pendapat Carrie Bradshaw soal wanita menikah versus lajang: We are all basically the same but sometime we live in different side of the sea.

Saya suka pendapat Carrie. Bukan karena suasana saya saat ini persis seperti Carrie saat menulis kolomnya: tengah malam di depan komputer sambil mengingat-ingat pengalaman teman-teman untuk dituangkan dalam tulisan. (Bedanya adalah: saya tidak merokok dan yang menemani di kamar adalah suami saya sendiri!). Jawaban Carrie rasanya tepat untuk sahabat saya, Diana, yang menginspirasikan saya menulis artikel ini.

Adakah pernikahan mengubah seorang Karin? Tak banyak sebetulnya. Saya bahkan tetap memakai nama ayahanda -- bukan suami-- sebagai nama belakang. Dan, jika Samantha sebal bahwa wanita yang menikah tak lagi menjadi "saya" tetapi "kami", saya justru senang memiliki dua kata ganti subyek yang bisa dipakai sesuai dengan kebutuhan.

Setahun berlalu, jika ada yang bertanya mengapa saya memutuskan menikah, jawabannya sederhana saja: Kenapa tidak?

*Saya persembahkan tulisan ini untuk sahabat-sahabat yang juga menikah tahun lalu: Tutia dan Yudi, Sasi dan Bowo, Indira dan Robby, Dewi dan Ugi, Indah dan Jamet, Taufik dan Novi, Kiki dan Trias, Monica dan Dani. Semoga tetap menjadi "pengantin baru" selamanya. Juga untuk para "pengantin lama" yang banyak memberi inspirasi: Cutri dan Pri, Rani dan Ilo, Ari dan Latif.

Tak lupa, untuk calon pengantin: adikku tersayang, Tammy dan Andri. Juga pasangan pengantin idolaku sepanjang masa: Bapak dan Mama. Serta untuk suamiku tercinta. Merekalah semangat, ilham dan kasih sayang yang tak bertepi.
*

Sunday, April 18, 2004

Skandal Beckham, Impian Tabloid Inggris 

APRIL ini adalah panen raya tabloid Inggris. Setelah lama tak menuai megaskandal pasca wafatnya Putri Diana, media massa berpesta pora mengelupas --sambil separuh berharap-- kemungkinan retaknya pernikahan David Beckham. Pemantiknya adalah Rebecca Loos, perempuan biseksual anak diplomat Inggris di Spanyol yang mengaku sebagai pacar gelap "Mister Posh" itu.

Wawancara eksklusif Loos di Sky TV menjadi "wajib tonton" pada Jumat malam. Saya tak mau ketinggalan meringkuk di depan televisi, meski dengan mata setengah terkatup pada jam 11 malam itu. Kita belum tahu dusta atau jujurkah dia. Yang jelas, dalam satu minggu ini, tabungan Loos sudah bertambah satu juta pound lebih. Sky mengganjarnya 750 ribu dan tabloid News of The World 350 ribu untuk membeberkan kisah cintanya dengan Beckham.

Inilah berita menghebohkan dari daratan Britania pekan ini. Sesudah Pangeran Charles dan almarhumah Diana, David dan Victoria adalah pasangan paling banyak diberitakan di tabloid Inggris. Jika keluarga kerajaan itu identik dengan pernikahan bermasalah, maka pasangan Beckham adalah rumahtangga impian.

Tak heran jika dongeng Nona Loos ini pun dijuluki story of the decade. Maklum saja, Beckham adalah sebuah imej yang terjaga, merek yang terpelihara. Pemain sepakbola yang bersih (tidak merokok, minum atau "main perempuan"), family man yang setia pada keluarga dan bintang iklan jaminan larisnya sebuah produk. Dia sukses dikemas sebagai suri tauladan Inggris. Baru pekan lalu, autobiografinya, My Side --yang menginspirasikan judul blog ini-- mendapat penghargaan British Book Award 2003 sebagai biografi terlaris sepanjang tahun.

Publik Inggris mencintai Beck, tapi "membenci" Posh. Ia tak habis-habis dihajar oleh tabloid Inggris yang terkenal kejam memangsa gosip. Ia disebut sebagai penghambur uang, pendompleng popularitas hingga terlalu bossy terhadap orang-orang di sekeliling suaminya. Bahkan, dua tahun lalu, ia dihadiahi gelar wanita berkostum terburuk. Semodis apapun penampilannya, Posh tak bisa lepas dari cercaan sebagai gadis Essex yang kampungan. Dia memang berasal dari daerah Essex yang dikenal kurang gemerlap di Inggris.

Setiap kali Beck tersengat masalah, telunjuk kesalahan langsung diarahkan ke Posh. Ketika rumahtangganya sempat diisukan retak dan ia bicara kepada pers, News of The World dengan sinis menulis: Posh tak sedang memperbaiki pernikahannya, tapi menjaga agar mesin pencetak uangnya tidak lepas darinya. Seperti juga saat ini, saat David dirundung kasus skandal seks, tebak saja siapa yang disalahkan media.

Posh dan Beck –tak pernah ditulis sebagai Beck dan Posh-- memang berita nan tak pernah gersang. Tak terhitung program televisi didedikasikan khusus untuk mereka. Spend It Like Beckhams berkisah tentang pengeluaran keluarga ini. Termasuk soal rumah mahal mereka di Hertfordshire yang oleh pers disebut sebagai The Beckhingham Palace. Ada pula The Years of Posh and Beck dan The Fabulous Beckhams. Bahkan, sebuah sinetron di televisi berjudul Footballer’s Wife dibuat sebagai sindiran terhadap istri pemain sepakbola. Tepatnya: sindiran terhadap Nyonya Beckham. Pemerannya dicari yang semirip mungkin dengan Posh dan Beck.

Saya yang baru sebentar di negeri ini sudah lumayan muak dibombardir Posh dan Beck. Tapi tidak bagi warga Inggris. Buktinya, acara-acara yang kadang diputar ulang itu tetap saja mendulang penonton dan –tentu saja-- iklan.

Survey yang diadakan Superbrands, lembaga independen peneliti merek paling bergengsi di Inggris, mencuatkan Beck sebagai selebriti paling cool sepanjang 2002 dan 2003. Mayoritas responden (68 persen) memberi alasan: imejnya sebagai family-man. Sementara kemampuan bermain sepakbola berada di urutan kedua.

Ia juga masih menjadi bintang di Old Trafford meski bukan lagi anggota keluarga Manchester United. Wajahnya masih bertebaran di dinding-dinding stadion. Pemandu tur keliling stadion tak henti menyebut nama Beckham setiap kali menjelaskan sesuatu. Tempat duduknya di ruang ganti menjadi obyek foto paling diincar di Old Trafford. (Baca: Melawat Si Setan Merah di Old Trafford)

Segala gerak gerik Posh dan Beck selalu diteropong jurnalis gosip negeri ini. Di Madrid, Beck difoto saat berplesiran dengan Ronaldo dan Roberto Carlos. Di bawahnya tertulis: David dan dua kawannya yang berpisah dengan istri mereka dalam waktu kurang dari setahun setelah bergabung dengan Real. Spekulasi tentang keretakan pernikahannya pun merebak. Tabloid-tabloid gosip macam The Sun atau Daily Mirror merentangkan tangan lebar-lebar bagi siapa saja yang punya info tentang Beckham untuk dijadikan cerita ekskusif.

Kali ini, News of The World yang "beruntung" bertemu dengan Rebecca Loos yang kini jadi tumpuan hujatan para pecinta Beckham. Koran-koran pembela Beck menulis Loos sebagai Si Perusak Ikon Nasional. Apa boleh buat, David telanjur ditahbiskan sebagai "duta besar" sepakbola Inggris untuk dunia.

Jadi, bersiaplah, kapten tim Inggris ini masih akan terus menggelinding bukan di halaman olahraga. Harian The Independent hari ini membuat analisa marketing tentang Beckham sebagai sebuah merek dagang. Sebagian analis menilai pemberitaan negatif ini akan berdampak pada imej Beckham yang bernilai 200 juta poundsterling itu. Namun Max Clifford, seorang konsultan public relation dengan optimis menyatakan figur seorang Beckham takkan tergerus karena Loos. “Kecuali jika gosip ini terbukti benar,”katanya. Inilah pekan-pekan berkabung bagi para penggemar Beckham. Pesta pora tabloid gosip Inggris!

Friday, April 09, 2004

Masa Lalu yang Membeku di Norwich 

Kastil Norwich

Saya mendarat di abad pertengahan. Norwich di tengah hari yang berangin menyambutku. Sisa-sisa tembok peninggalan Romawi membentang membelah kota. Kastil berusia hampir satu milenium yang dibangun oleh bangsa Normandi menengadah menantang langit. Gereja-gereja kuno bertebaran di segenap pelosok kota. Yang tertua adalah Gereja Katedral yang dipancangkan pada 1096. Sungguh, Norwich adalah masa lalu Inggris yang terpelihara.

Dua jam berkereta dari London, saya tiba dan segera jatuh hati pada ibukota East Anglia ini. Selangkah dari stasiun, kanal dengan perahu-perahunya menyongsongku. Saya berdiri di sisi jembatan. Melanglangkan pandangan ke sisi lain kota. Sambil menyesap udara yang kian menghangat hari itu. Saya berjalan menapaki pusat kota. Perjalanan memasuki lorong masa lalu pun dimulai.

Sejauh mata memandang, bangunan tua yang dibangun oleh penguasa pada masanya – Normandic, Romawi dan Anglo-Saxon— menghampar megah. Bersanding damai dengan bangunan dan pertokoan modern. Tak terbayangkan bahwa di suatu masa, sejarah kelam pernah menerpa Norwich. Pada abad empat belas, Revolusi kaum tani menggelegak. Rumah-rumah orang kaya dan pejabat pemerintah dibakar. Termasuk beberapa bangunan lambang kemakmuran masa itu. Pasukan pemberontak dibawah junjungan mereka Robert Kett mengambil alih tampuk kekuasaan. Kett akhirnya dibekuk oleh tentara kerajaan. Hidupnya tamat di tiang gantung di Kastil Norwich.

Saya melangkah ke Royal Arcade, pusat perbelanjaan di lorong yang terjaga keasliannya sejak masa lalu. Pun toko-toko tua yang tetap setia di situ. Termasuk Toko Mustard Colman’s yang sudah ada sejak 200 tahun silam dan dikenal sebagai mustard terbaik dan terlegendaris se-Inggris. Kios bergaya Victoria ini kini dilengkapi museum sejarah mustard. Saya tak suka saus mustard, tapi begitu terpesona pada museum kecil ini. Terkagum-kagum pada semangat memelihara sejarah, sekecil apapun itu. Saya juga teringat High Wycombe, penghasil mebel terbesar di masa lalu Inggris (seperti Jepara di Indonesia). Di sana didirikan Museum Kursi untuk mengenang sekeping sejarah itu.

Elm HillAda pula Elm Hill, sebuah sudut dan jalan tertua di Norwich. Sederet kios, cafe dan rumah tua di jalan berbatu -- yang sepintas mengingatkan saya akan setting dalam komik Asterix -- berbaur dalam nuansa abad pertengahan. Waktu seakan tak mampu menggerus bagian kota yang satu ini.

Bis membawaku ke University of East Anglia. Kampus luas dan megah dengan hutan dan danau mengitarinya. Angsa-angsa Norwich menyambutku. Sahabat-sahabat menantiku: Patris, Omi, Taufik, Novi, Ester, Bang Rizal, Mas Dono dan semua teman PPI Norwich. Terimakasih telah menghidangkan akhir pekan yang menyenangkan.