Sunday, March 28, 2004
Dari Tunisia Dengan Cinta
TONY Blair berjabat tangan dengan Muammar Gaddafy di Libya Rabu lalu. Saya di London menggamit tiga gadis dari negara tetangga Libya, Tunisia. Mereka adalah Elhem Ghroum, Ons Boughattas dan Najet M'laiki.
Berawal dari sebuah surat elektronik dari British Council yang mendarat di komputerku. Tiga gadis Tunisia memenangkan lomba menulis tentang Inggris. Hadiahnya: tamasya ke London. Yang dua mahasiswa, yang satu wartawan. Mungkin karena itu saya yang diminta menemani mereka berkeliling kota. Kami, para pemandu amatir, pun bertiga: Elena, wartawan dari Lebanon yang juga teman sekelas saya di kampus dan Monica, pengacara muda dari Indonesia yang kini belajar di LSE.
Mendengar kata Tunisia, semula saya membayangkan akan bersua gadis berkulit hitam dan berkerudung. Maklum, negara yang jumlah penduduknya hampir sama dengan Jakarta itu terletak di Benua Afrika. Sembilan puluh delapan persen beragama Islam. Gambaran itu luruh pada Kamis pagi. Tiga dara itu berkulit putih, berambut pirang dan coklat serta berparas perpaduan Eropa dan Arab. Kostum mereka tiada beda dengan remaja London. Saat berbelanja pakaian, mereka memilih gaun-gaun mini tak berlengan. Mereka pun bertutur dalam bahasa Perancis, bahasa nasional mereka selain Arab.
Republik Tunisia memang bekas jajahan Perancis. Berbeda dengan sebagian besar negara di Afrika, Tunisia sangat makmur. Lihat saja nilai tukar mata uangnya, satu poundsterling bernilai 2,5 dinar. Bandingkan dengan Indonesia yang satu poundsterling setara lebih dari 15 ribu rupiah.
Tunisia yang berbatasan dengan Libya dan Aljazair ini dikenal sebagai negara Islam moderat. Terutama dalam kesetaraan pria dan wanita. Berbagai undang-undang diluncurkan untuk melindungi hak-hak wanita. Salah satu yang kontroversial adalah penghapusan poligami.
Hujan menemani kami menjelajah London. Tujuan pertama: Parliament Building. Jika biasanya saya hanya bisa memandangi gedung dengan Big Ben di puncaknya ini dari luar, maka hari itu saya sungguh beruntung. Dengan surat dari British Council, kami melaju hingga ke ruang sidang House of Common. Tentu saja dengan pemeriksaan yang luar biasa ketat di setiap pintu. Persis seperti masuk ke bandara.
Rabu adalah jadwal mingguan Tony Blair meladeni aneka pertanyaan. Saya datang pada Kamis, saat Secretary of state for Trade and Industry yang bicara. Biasanya hanya menonton di layar televisi, saya saat itu berada di dalamnya. Monica yang mahasiswa hukum dengan fasih menjelaskan perbedaan House of Common dan House of Lord dalam sistem keparlemenan Inggris. Inilah ikon kota London yang menjadi saksi sejarah panjang politik negeri ini. Sejenak saya teringat ruang dan koridor di dalam Gedung DPR dan MPR Senayan. Maaf, saya tak tega untuk membandingkannya.
Lalu kami pun berjalan kaki menyusuri kawasan Trafalgar. Dari Downing Street, White Hall, Leicester Square dan Covent Garden. Kami berjalan dengan sangat lambat lantaran ketiga gadis Tunisia ini tak henti berfoto. Seperti saya, mereka sangat kagum dengan bangunan-bangunan tua di tengah kota yang terpelihara dan berfungsi dengan baik hingga hari ini. Tujuan terakhir hari itu: Harrods di Knightsbridge. Dasar warga negara makmur, mencari oleh-olehpun di Harrods. Saya hanya berkunjung ke pusat perbelanjaan termegah seantero Inggris itu saat sale penghujung tahun. Itupun sekedar menikmati keriuhannya, tidak sungguh-sungguh membeli. (Baca: Harrods dan Ritual Tahunan itu)
Kami meluncur dengan tube ke Knightsbridge, sekitar lima belas menit dari Leicester Square. Tiba di sana, mereka menghambur ke Memorial Corner di Egypt Floor, lantai satu. Pojok ini dipersembahkan Muhammad Al Fayed, pemilik Harrods, bagi almarhum anaknya Dodi dan kekasihnya Diana. Untunglah siang itu saya cukup fasih menelusuri lekak-lekuk Harrods. Begitu besarnya, satu hari tak akan cukup untuk menjelajahi semua lantai. Tiap kali ke sana, saya kerap tersesat dan akhirnya terpaksa bertanya pada penjaga bertopi hijau tinggi khas Harrods, "Excuse me, jalan keluarnya sebelah mana ya?".
Hari hampir habis, kami pun berpisah dengan peluk cium. Kaki yang babak belur lantaran berjalan seharian penuh nyaris terlupakan oleh hati yang riang. Kami menebar harapan untuk bertemu lagi. Di London, Jakarta atau Tunis. Au revoir, chère amie!
Monday, March 22, 2004
Satu Tahun Kepiluan di Irak
Trafalgar Square di akhir pekan berselimut kesedihan. Ratusan orang yang berkerumun dari segenap antero London tengah merayakan sebuah kepiluan: satu tahun perang Irak. Inilah demo besar anti perang pertama Inggris di 2004.
Jalan-jalan utama di Central London disesaki massa siang itu. Dari Hyde Park, Westminster Abbey hingga Downing Street. Berbagai kelompok terlibat dalam demo bertema "No More Lies, Mr Blair" ini. Dari Anti War Movement hingga The Muslim Association of British.
Beragam poster dan boneka bernada hujatan dipampangkan. Salah satunya adalah patung Blair dengan hidung panjang Pinokio. Bukan nama Blair yang tertera di bawahnya, tetapi: Bliar. Ada pula poster bergambar Blair tengah menyeduh teh, dengan tulisan: Make Tea, Not War.
Dua bersaudara Harry dan Simon Westaway bahkan nekad memanjat Big Ben sejak pukul enam pagi. Mereka nyaris mencapai sampai puncak jika saja polisi tak keburu melihat dan menurunkan mereka dengan paksa. "Kami hanya mau mengirim pesan ke Mr Blair,"kata mereka yang telah siap membentangkan poster raksasa. Begitulah. Blair memang tak mau mendengar rakyatnya. Pemerintah Inggris boleh saja mendukung perang. Namun tidak rakyatnya.
Dan di siang nan mendung itu, dikelilingi patung para pahlawan Inggris yang menjulang menantang langit Trafalgar, para demonstran menyemburkan kata-kata keprihatinan. Saat seorang imam memimpin doa bagi para korban perang dan terorisme, mata kami berkaca-kaca. Sang imam meminta hadirin mengangkat tangan sebagai simbol kesedihan. Bahkan seluruh juru foto dan kamera pun sejenak menghentikan kegiatan sekedar agar bisa juga mengangkat tangan seperti yang lain.
Saya di situ. Membenamkan doa bagi sebuah perdamaian. Bagi Irak. Madrid, Bali, dan seluruh jengkal muka bumi. Mungkin tak berarti apa-apa. Penguasa dunia tetap saja pongah. Para korban pun masih saja menderita. Perang. Terorisme. Kebohongan. Balas Dendam. Setahun berlalu sudah, hati kami tetap pilu.
Thursday, March 18, 2004
Indonesia Raya Tak Mampir di Birmingham
SABTU lalu sungguh kelabu. Bagi dunia bulutangkis Indonesia. Juga bagi kami, para suporter yang datang dari berbagai penjuru Inggris ke lokasi All England 2004 di Birmingham. Bak prajurit kalah perang, kami satu per satu keluar dari National Indoor Arena. Bendera merah putih dan rumbai-rumbai kami lipat dengan malu-malu. Yel-yel yang semula kami teriakkan hingga serak terpaksa disimpan rapat-rapat di tenggorokan.
Sekitar seratus pendukung Indonesia datang pada semifinal Sabtu itu. Saya dan suami menempuh dua setengah jam perjalanan naik bis dari London. Meski Rexy Mainaki -- kini pelatih tim Inggris-- saat diwawancara BBC menyatakan Cina lebih berpeluang sabet semua gelar, kami tetap percaya diri membeli tiket sampai babak final.
Pada semifinal, kami masuk stadion dengan hati berbunga-bunga. Ada tiga unggulan di babak ini. Taufik Hidayat di tunggal putra, duet Flandy Limpele dan Eng Hian di ganda putra serta pasangan Nova Widianto dan Vita Marissa di ganda campuran. Suporter Indonesia paling banyak duduk di blok 9. Mereka yang non Indonesia, satu per satu minggir dari blok ini. Mungkin tak tahan dengan hebohnya para suporter dadakan yang hanya bermodal teriakan ini.
Bandingkan dengan suporter Korea yang meskipun hanya sekitar 20 orang, namun tampil kompak dengan baju kuning, kerincingan dan yel-yel yang rapi dan sudah disiapkan. Begitu juga suporter Denmark, negara paling dekat dari Inggris, yang juga memadati stadion. Kabarnya, mereka terbang dengan dua pesawat khusus ke Birmingham. Mereka jelas lebih bermodal dari suporter kita. Semua memegang dua balon panjang bertuliskan Yonex -- yang bisa dibeli di luar stadion— yang ditepuk-tepukkan satu sama lain sehingga membuat suara yang seragam. Dua blok khusus mereka booking sambil tak henti-henti menjerit: Let’s go, Denmark, let’s go!
Suporter Indonesia, meski tanpa persiapan khusus, cukuplah menarik perhatian pengunjung lain. Kami menari, menyanyi, bertepuk Pramuka hingga memanggil-manggil nama pemain. Ketika dua pasangan ganda kalah, harapan tinggal pada Taufik, maka kami pun melantunkan koor Taufik...Hidayat!!!! Ketika akhirnya Peter Gade dari Denmark menekuknya dengan mudah dalam dua set, Taufik harus tebal kuping menerima umpatan kesal seorang suporter: kebanyakan pacaran sih!
Begitupun Mia Audina, yang kini mengusung bendera Belanda. Saat melawan pemain Cina di semifinal, dia tak henti disoraki penonton Indonesia sebagai "pengkhianat" atau "kumpeni". Mantan tunggal putri andalan tim nasional itu akhirnya tunduk juga di-smash Cina
Ketika Taufik kalah dan tiada satupun pemain melenggang ke babak final, jeritan para bonek Indonesia pun lenyap ditelan kekecewaan. Satu per satu kami meninggalkan gelanggang diiringi sorak sorai pendukung Denmark yang kian digdaya. Seorang teman berkata, untung ini Birmingham, kalau di Jakarta, pasti sudah tawuran antar suporter. Dasar bonek!
Saya dan beberapa teman memilih berjalan-jalan di Bull Ring, pusat perbelanjaan terbesar di Eropa yang cuma selangkah dari arena All England. Di sana kami malah bersua dengan pemain-pemain Indonesia yang sudah kalah di babak sebelumnya. Jo Novita, tunggal putri yang keok di babak perempat final buru-buru menyatakan, "Maaf ya, Mbak, kami kalah semua."
Rexy Mainaki, Christian Hadinata dan beberapa mantan pemain nasional berkerumun di luar stadion sesudah semifinal. Terlibat dalam diskusi mereka, kami serasa menjadi pengamat bulutangkis. Pertaruhan berikutnya adalah Piala Thomas dan Uber, Mei mendatang di Jakarta. Juga Olimpiade Musim Panas di Yunani di bulan Agustus.
Berhubung tiket final sudah di tangan, akhirnya pada hari Minggu kami datang juga ke National Indoor Arena. Karena tiada pemain Indonesia, saya dan puluhan mahasiswa dari Leeds –yang hanya datang untuk final— duduk di deretan pendukung Cina. Sedih rasanya memandang bendera Cina dan Denmark berkibar dengan megahnya. Tidak pernah saya senelangsa itu menonton bulutangkis. Mohon maaf, kali ini, Indonesia Raya dan merah putih tak mampir di Birmingham.
Sebagai pengobat kekecewaan, kami ikut berteriak-teriak mendukung Cina. Suporter Cina dengan kompak bersorak: Cia You! Artinya: hidup! Kami pun ikut-ikutan menjerit. Tapi Cia You dipelesetkan menjadi Cahyo. Maka gaduhlah deretan suporter Indonesia menjeritkan: Cahyo...Cahyo!!! Ini yang namanya bercanda dalam duka. Hidup Indonesia!
Sunday, March 07, 2004
Petualangan ke Rumah Enid Blyton
BRITANIA Raya menjejali masa kanak-kanakku. Negeri ini hadir di kamar saya setiap hari. Lewat serial Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Sapta Siaga hingga Mallory Towers dan St Claire. Terimakasih kepada Enid Blyton, sang pengarang, yang telah menghadirkan Inggris di masa beliaku.
Dan, dua pekan lalu, bagaikan mimpi, saya "bertemu" Blyton di rumahnya yang ia namai Green Hedges di Beaconsfield, Buckinghamshire, sekitar satu jam berkereta dari London. Meski bukan sosok aslinya --dia telah berpulang lebih dari 30 tahun silam— dan hanya rumah replikanya yang saya jumpai di Bekonscot Village, saya cukup berpuas hati. Dengan rasa kagum tiada tara, saya menatap boneka Blyton liliput yang mengetik di halaman belakang rumahnya itu.
Ingatan saya langsung berkelana ke aneka petualangan mendebarkan yang saya lalui bersama Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu dan Sapta Siaga. Semua gambaran dalam novel-novelnya menjelma di hadapan saya tiap kali bertandang ke kota-kota kecil di luar London. Meski ditulis sejak 1920-an, gambaran Blyton tentang kota-kota kecil Inggris itu nyaris tak berubah hingga kini.
Tiap kali melihat polisi, saya langsung teringat Pak Goon, polisi desa dalam Pasukan Mau Tahu. Tepat betul cara Blyton menggambarkan topi hitam tinggi dan sepeda polisi dengan bel berdering-dering. Tokoh-tokoh dalam cerita Blyton memang diambil dari kesehariannya. Tokoh Inspektur Jenks, atasan Pak Goon dalam serial yang sama, memang ada di dunia nyata: Inspektur Stephen Jenning, polisi yang pertamakali membentuk sistem pengamanan model Siskamling di kawasan Beaconsfield.
Pola kisah detektif cilik dalam karya-karya Blyton umumnya senada seirama. Anak-anak belasan tahun yang bersekolah di kota bertualang bersama anjing mereka.Tiap liburan musim panas atau musim dingin, mereka bertamasya ke suatu tempat. Lima Sekawan paling hobi ke Pulau Kirrin. Sementara Pasukan Mau Tahu lebih suka tinggal di desa dan melakukan sesuatu yang asyik semisal pergi ke pasar malam, nonton teater boneka atau berkemah.
Dan, petualangan selalu menghampiri mereka. Seperti kata Fatty, si gendut dalam Pasukan Mau Tahu, "Aku tak pernah mencari-cari misteri. Misterilah yang mendatangiku." Fatty dan kawan-kawannya bertualang dalam belasan judul. Dari Misteri Pangeran Asing, Misteri Rumah Setan hingga Misteri Teater Kecil. Lain lagi Julian, Dick, Anne beserta George dan anjingnya Timmy selalu "tanpa sengaja" bertemu dengan misteri di lebih dari 20 judul buku. Memburu Kereta Api Hantu, Rahasia Lorong Pencoleng hingga Misteri Pulau Seram.
Gambaran tentang Pulau Kirrin dan mercusuar tuanya begitu mendekam dalam memori kanak-kanakku. Hingga kini, tiap kali melihat mercusuar, hanya satu yang melintas di benakku: Lima Sekawan. Sejak kecil, saya kerap berkhayal tiba-tiba menemukan dinding atau lemari yang bisa digeser menuju lorong rahasia. Atau ruang bawah tanah berisi peti-peti tua yang merupakan petunjuk ke sebuah misteri. Betapa serunya.
Tokoh idolaku adalah si tomboy Georgina yang lebih suka dipanggil George. Banyak literatur menyatakan, tokoh ini sebetulnya adalah gambaran Blyton kecil yang tomboy dengan kulit berbintik coklat dan memiliki anjing kesayangan, Laddie. Sama seperti George dengan Timmy-nya.
Selain lewat kisah detektif cilik, Enid Blyton juga merambah masa kecilku dengan serial asrama perempuan. Si Badung, Mallory Towers dan St Claire. Ketiga serial ini sebetulnya memiliki pola cerita yang sama. Anak-anak gadis dikirim ke asrama. Awalnya mereka memberontak dan berjanji akan sangat nakal sehingga dipulangkan ke rumah, namun semua berakhir manis. Mereka malah mencintai sekolah, teman-teman dan kehidupan asrama yang indah. Karakter utama di ketiga serial itu pada akhirnya menjadi Ketua Murid (semacam Ketua OSIS) di sekolah masing-masing. Blyton juga menjadi Ketua Murid di St Christopher's School For Girls.
Imajinasi saya kian tak terbendung membaca serial gadis belia ini. Betapa iri saya pada mereka dan kehidupan asrama yang menyenangkan. Ada pesta tengah malam rahasia. Semua anak mengendap-endap membawa limun, biskuit jahe dan aneka kudapan dari dapur asrama ke tepi kolam renang atau ruang santai. Mereka tak boleh berisik dan begitu usai tak boleh membiarkan ruang berantakan atau makanan tercecer. Besar resikonya jika kepergok kepala sekolah yang galak atau murid yang tukang mengadu. Kisah-kisah para gadis di asrama ini sebetulnya adalah pengalaman Blyton tatkala bersekolah dulu.
Kini, meski saya tak tinggal di asrama, saya kerap diundang ke pesta teman di hall universitas. Suasanananya nyaris serupa dengan asrama yang digambarkan Blyton. Kami biasa berkumpul di dapur, membawa makanan sendiri-sendiri dan bercengkrama sambil tertawa-tawa hingga larut. Lumayan, bayangan masa kecil tentang pesta tengah malam sudah terwujud meski dalam rupa yang berbeda.
Saya tak hanya "iri" pada tokoh-tokoh rekaan Blyton, tapi pada si pengarang sendiri. Kekuatan Blyton bertahan di depan mesin tik -- bukan komputer!-- sangat menakjubkan. Ritual hariannya selalu sama: bangun pagi, mandi, memberi arahan pada para pembantunya di rumah dan kemudian terpaku di depan mesin ketik sehari penuh. Ia hanya berhenti untuk makan siang. Dalam masa-masa produktifnya, Blyton rata-rata menuliskan sepuluh ribu kata setiap hari. Suatu jumlah yang fantastis. Bahkan sebelum tahun 1940, seluruh karya Blyton lahir dari tulisan tangan.
Enid Mary Blyton lahir di sebuah flat mungil di East Dulwich, London pada 1897. Blyton kecil dan kemampuan membacanya sempat membuat ayahnya khawatir. Sejak umur enam tahun, ia telah melahap buku-buku di rak ayahnya. Termasuk ensiklopedia. Beranjak remaja, Blyton selalu membawa pensil dan kertas untuk menuangkan ilham yang datang tak kenal waktu.
Selulusnya dari St Christopher’s School for Girls di Beckenham, London, ia bersama dua sahabat membuat majalah amatir Dab. Di sinilah ia menuangkan cerita-cerita pendeknya. Blyton yang berumur empat belas tahun menarik perhatian Arthur Mee, penulis terkenal di masa itu. Sejak itu, Blyton mengembangkan sayap dan menulis di majalah terkemuka Nash. Cerita-ceritanya langsung digemari banyak khalayak.
Pada 1932, naskah novel Blyton sempat ditolak penerbit. Blyton yang saat itu telah berkibar sebagai penulis cerita pendek merasa sangat tertampar. Bayangkan, ia dianggap tak layak menulis novel! Untunglah ia tak memilih berhenti. Jika ia menyerah saat itu, Lima Sekawan dan ratusan judul bukunya tak akan pernah kita baca. Dan saya juga pasti takkan menuliskan kisah ini.
Setelah sukses menerbitkan bukunya, Blyton pada 1938 pindah ke Beckonsfield, Buckinghamshire -- lokasi yang saya kunjungi bersama suami dengan sahabat kami, Miya dan Dominique. Di situlah ia berkarya hingga akhir hidupnya pada 1968. Saat pecah Perang Dunia II, Blyton sempat menggunakan nama samaran: Mary Pollock. Mary adalah nama kecilnya, Pollock adalah nama suami pertamanya Hugh Pollock.
Saat meluncurkan Lima Sekawan pada 1942, Blyton semula berniat menulis enam seri saja. Namun ternyata penggemar jatuh cinta pada para petualang muda ini. Surat-surat yang diterima Blyton --dan selalu dibalasnya sendiri-- memintanya meneruskan kisah Lima Sekawan. Walhasil, terciptalah 21 judul. Film televisi dengan jumlah yang sama juga ditayangkan di aneka negara. Termasuk Indonesia. Saat saya masih di Sekolah Dasar, TVRI sempat menayangkan serial Famous Five yang membuat saya terpana setiap minggu.
Blyton adalah pengarang paling produktif yang pernah ada. Ia tercatat menghasilkan lebih dari enam ratus buku. Semuanya tentang anak dan remaja. Banyak ahli meneliti kesuksesan Blyton. Michael Woods, seorang ahli jiwa, membuat analisa menarik: Blyton adalah seorang anak, berpikir seperti anak dan menulis seperti anak!
Karya-karya Blyton telah diterjemahkan ke tujuh puluh bahasa. Dan hingga detik ini tetap menjadi tambang uang bagi penerbit. Pemegang hak ciptanya di Indonesia, Gramedia, masih terus mencetak edisi baru novel Blyton. Ia tak tenggelam meski sudah ada novel anak generasi baru yang juga berasal dari Inggris: Harry Potter.
Di Inggris, tiap bulan Mei diadakan Enid Blyton Day di tempat kelahirannya. Ratusan orang berkumpul untuk mengenang sang pengarang. Ada pameran barang-barang Blyton, penjualan benda-benda koleksi hingga pembacaan cerita dan diskusi. Anak atau cucu Blyton hadir membagi kisah tentang ibu atau nenek mereka. Tahun lalu, digelar acara pemilihan karakter favorit dalam buku-buku Blyton. Maka muncullah nama-nama George (Lima Sekawan), Fatty (Pasukan Mau Tahu) dan Darrel Rivers (Mallory Towers).
Tak ketinggalan, Isle of Purbeck di Dorset selalu ramai dikunjungi para pecinta Blyton. Inilah Pulau Kirrin yang sebenarnya. Blyton belia memang kerap berlibur ke sini bersama anjingnya. Persis seperti George dan Timmy. Siapa sangka, kastil, gua, pantai dan aneka bangunan yang dikisahkannya dalam Lima Sekawan ternyata memang betul-betul ada. Sungguh saya mendambakan berpetualang ke sana. Siapa tahu, seperti para detektif rekaan Blyton, misteri akan datang menghampiri!