Friday, June 25, 2004
Kepedihan Sepakbola Inggris
JANGAN coba-coba ajak orang Inggris bicara sepakbola. Setidaknya untuk beberapa hari ini. Negeri ini sedang dirundung duka tak berkesudahan. Para reporter televisi yang biasanya berapi-api dalam liputannya, kali ini tampil dengan suara parau hampir menangis. Para komentator BBC terduduk lemas dan tak bisa banyak bicara. Lalu lagu-lagu berirama kepedihan --persis seperti adegan kematian dalam film-- diputar mengiringi tayangan kilas balik kekalahan England atas Portugal.
Padahal, sejak pagi hari kemarin, aroma kemenangan telah meruap dimana-mana. Bendera putih berpalang merah dalam berbagai ukuran dipasang di mobil, rumah, sekolah, toko atau sekedar dibawa berjalan. Kemana mata memandang, orang mengenakan kaos bertema tim Inggris. Yang merah atau putih. Yang asli atau versi tiruannya. Semua bersatu memberi dukungan. Termasuk para orang Inggris gadungan: saya dan suami serta adik saya, Tammy, dan suaminya, Andri, yang sedang mengunjungi kami di London.
Kami menonton dengan Rani dan Susilo di rumah mereka di kawasan Thamesmead. Tak mau ketinggalan, saya tampil dengan jaket England bernomor 9 milik Rooney. Jalan-jalan senyap bagai tak bernyawa. Nyaris tak ada mobil melintas sepanjang pertandingan. Orang-orang berkumpul di pub, café atau di depan televisi di rumah mereka untuk menonton pertandingan maut ini.
Ketika Inggris akhirnya takluk dengan dramatis, duka cita langsung menyelimuti negeri ini. Para penonton di pub melenggang pulang dengan lemas dan kepala tertunduk. Kami yang menumpang hidup di kampung mereka ikut merasakan nuansa kepedihan itu. Tak sanggup rasanya menonton tayangan ulang kekalahan itu. Tak kuasa rasanya membaca koran tentang berita ini.
Memang, saya sangat merasakan berlebihan sekali fanatisme orang Inggris pada tim sepakbolanya. Tiap kali kalah, dunia serasa berhenti berputar. Seperti kata Rani yang hampir lima tahun di sini, "Orang Inggris kalau kalah bola seperti ditinggal mati ibunya." Berlebihan memang. Tapi, begitulah kebanggaan dan kecintaan mereka pada tim nasional yang terkadang membikin kami iri.
Dan hari ini, tiada lain headline koran-koran Inggris kecuali kekalahan itu. Wasit Urs Meier, yang membatalkan gol Sol Campbell dengan alasan pelanggaran menjadi target cercaan. Koran kuning macam The Sun tampil dengan caci maki: Idiot Ref Robbed Beck’s Heroes. Daily Mirror memajang wajah Beckham menangis tertelungkup di lapangan dengan judul besar-besar: We Are Robbed!
Bagi orang Inggris, Euro 2004 telah berakhir di sini. Tiada lagi kemeriahan, tiada lagi semangat menonton sepakbola. Bendera dan poster yang bertebaran di rumah dan mobil dilucuti satu per satu pertanda duka cita. Padahal beberapa hari lalu, kami masih sempat ikut aksi memborong kaos merchandise asli tim England, yang didiskon dari harga aslinya 40 Pounds, khusus untuk momen Piala Euro ini. Kami juga tak melewatkan kunjungan ke Museum Madame Tussauds untuk berfoto dengan David Beckham, Michael Owen dan Pelatih Sven-Goran Eriksson. Meski hanya versi patung lilinnya.
Dan kini, di antara kesedihan atas kekalahan Inggris, satu hal yang masih bisa membuat kami tersenyum: kaos dan aneka merchandise yang harganya sangat melangit itu dijamin akan dibanting lagi!