Tuesday, August 17, 2004
Terlena Bersama Ikke Nurjannah
PAGI ini saya menikmati dua perayaan kemerdekaan. Pertama, kemerdekaan dari belenggu deadline tesis. Alhamdulillah, setelah beberapa pekan mendekam di depan layar komputer, saya tiba juga pada bab akhir. Masih akan ada aneka revisi, tentu saja, tapi masa-masa paling menyiksa itu usai sudah. Merdeka!
Kedua, kemerdekaan Indonesia tercinta. Pagi yang basah ditetesi gerimis mengiringi langkah saya dan suami menuju Wisma Nusantara untuk berkumpul dengan warga Indonesia di Inggris Raya merayakan tujuhbelasan. Tak di kampung, tak di London, acara perayaan ini tetap saja berkisar di lomba makan kerupuk, balap karung dan bazaar.
Satu hal yang saya sukai dari setiap tujuhbelasan: silaturahmi. Bagi saya, aneka lomba dan keriaan itu hanya sarana belaka. Intinya, sih, silaturahmi. Kumpul-kumpul.
Di Jakarta pun, mungkin hanya tiap Idul Fitri dan 17 Agustus saya berkesempatan bertemu dengan seluruh warga RT atau RW. Selebihnya, hari-hari lebih banyak didera kesibukan. Maka, jika dua momen itu tiada, makin langkalah kesempatan bercengkerama dengan para tetangga. Padahal, seperti kata pepatah, kita bisa memilih teman, tapi tidak bisa memilih tetangga!
Nuansa silaturahmi pula yang saya rasakan di perayaan kemerdekaan di London, hari ini. Masyarakat Indonesia dari berbagai sudut Inggris mengerumun di Wisma Nusantara. Setidaknya, enam ratus-an orang hadir. Mahasiswa, pejabat, karyawan, TKI, semua berbaur. Sebagian kecil datang sejak pagi untuk ikut upacara bendera. Berhubung kurang gemar ikut upacara sejak jaman Sekolah Dasar dulu, saya dan suami memilih datang agak siang.
Peringatan proklamasi kali ini istimewa buat warga Indonesia di Inggris Raya. Menurut beberapa teman yang telah lama tinggal di sini, inilah salah satu tujuhbelasan termeriah. Bintang tamunya memang tak biasa: Ikke Nurjannah. Sejak nama Ikke diluncurkan dalam undangan ke berbagai komunitas di Inggris, banyak warga Indonesia di sini buru-buru merancang cuti, libur atau terpaksa bolos!
Ketika Ikke menyembul di panggung, ratusan warga langsung merangsek mendekat. Panitia dari PPI London dan KBRI, termasuk pembawa acara Lula Kamal, beralih fungsi jadi petugas tramtib mengamankan massa yang brutal menyerbu Ikke. Dari yang ingin berfoto, memegang hingga sekedar ikut bergoyang di dekat Ikke. Rumah Duta Besar Juwono Sudarsono di kawasan mewah East Finchley ini seketika menjelma bagaikan panggung dangdut di kampung-kampung. Tak heran kalau massa TKI yang --mungkin rindu suasana dangdutan di kampungnya-- paling depan menghadang Ikke.
Saya dan teman-teman mahasiswa di London memilih membentuk kelompok sendiri di tengah. Ikut berjoget gila-gilaan. Maklum, sebagian besar telah rampung dengan tesis, sama seperti saya. Maka, dangdutan pun betul-betul menjadi pelepas stress dan capek yang menimbun berminggu-minggu ini. Sekolah boleh di London, liburan boleh ke kota-kota dunia, tapi soal musik, ya tetap kembali ke selera asal, bersaing dengan para TKI: dangdut!
Semua turun berdangdut bersama. Terutama kelompok kami, mahasiswi-mahasiswi Indonesia di London. Matahari yang kian jahanam menyengat tak membuat kami berhenti, malah tambah semangat. Siapa sangka, sahabat-sahabatku yang selama ini lekat dengan pergaulan dan selera internasional, ternyata tak cuma lancar bergoyang, tapi juga fasih menghapal lirik tembang-tembang Ikke. Goyangan mereka pun “dangdut sekali” lengkap dengan dua jempol digoyang-goyang dan pinggul meliuk-liuk ala Inul. Saya --seperti diledek oleh teman-teman di kantor lantaran selalu kaku berjoget-- tampil dengan joget komando alias goyang dangdut maju mundur ala tentara!
Jadi, meski badan luluh lantak lantaran seharian diterpa matahari musim panas London dan hebohnya goyang dangdut, hari ini saya betul-betul merasa merdeka. Ikke benar-benar membuat kami terlena sepanjang hari ini. Terlenaaaaaa...Ku terlena...