<$BlogRSDUrl$>

Monday, February 23, 2004

Melawat Si Setan Merah di Old Trafford 

oldtrafford

SORAK sorai membahana. Lagu mars melengking ke langit-langit stadion. Kami berlari melewati lorong menuju lapangan. Meski sadar betul sumber sorakan adalah rekaman yang diputar ulang, kami tetap larut dalam kemegahan pertandingan. Sejauh melempar pandang, warna merah yang terlihat. Bangku, dinding, bendera dan aneka lambang si Setan Merah Manchester United. Stadion Old Trafford yang begitu akrab di layar televisi hari itu kami sambangi.

Dua puluh menit dari pusat kota Manchester, Stadion Old Trafford --yang pernah menjadi tuan rumah salah satu pertandingan Piala Dunia 1966-- berdiri dengan gagahnya. Dengan kapasitas hanya setengah Stadion Utama Senayan, ia bukan yang terbesar tapi tentu saja yang terpopuler di Inggris. Bahkan dunia. Pengunjung yang datang tak hanya pecinta klub ini. Ketika pemandu tur bertanya klub mana yang kami sokong, aneka jawaban meluncur. Kebanyakan Arsenal dan Liverpool. Suami saya nyaris menjerit: PSM!

Nyatanya, tanpa ragu pengunjung --termasuk kami-- merogoh kocek untuk bergabung dengan tur keliling stadion yang dikemas begitu menyenangkan. Juga bagi saya yang bukan penyuka sepakbola. Tur yang berlangsung sekitar satu setengah jam ini diikuti sekitar 35 orang tiap rombongan. Tiap sepuluh menit ada rombongan baru yang berangkat. Kami yang tiba tengah hari baru dapat giliran tur tiga jam berikutnya lantaran padatnya antrian.

Menunggu giliran, kami bertamasya ke dalam Museum Manchester United disambut dinding raksasa Roll of Honour bertuliskan semua nama pemain sejak 1886. Kami pun melangkah ke Trophy Room, tempat Piala FA supremasi Liga Inggris terpajang dengan megahnya dikelilingi piala-piala lain lambang kejayaan Si Setan Merah. Di ruang lain, Hall of Fame dipersembahkan bagi mereka yang menampilkan momen-momen terbaik. Di antaranya ada Bobby Charlton dan Eric Cantona.

Tak semua isi museum berbau kegembiraan. Satu sisi bertajuk The Munich Disaster. Isinya adalah rekaman dan guntingan berita tentang kecelakaan tragis yang merenggut banyak nyawa pemain United saat terbang ke Munich pada Februari 1958. Nama-nama almarhum diabadikan di dinding luar Old Trafford sebagai penghormatan generasi berikutnya.

Puas menjelajah museum, kami pun ramai-ramai menyerbu belakang panggung Manchester United. Ruang konferensi pers, lokasi wawancara dengan latar belakang papan bertuliskan nama-nama sponsor (antara lain Vodafone, Nike dan Barclays Bank), kamar ganti dan ruang istirahat pemain, tempat duduk Sir Alex Ferguson memantau anak didiknya hingga lorong tempat para pesepakbola berlari menuju lapangan. Semua yang biasa saya pandangi di layar televisi, siang itu menjelma hadir di hadapan saya.

Ketika masuk ke ruang ganti, pemandu mempersilakan kami duduk sesuai pilihan kami. Baru kemudian dia menyebut posisi duduk para pemain. Siapa sangka, tempat duduk yang saya pilih yang letaknya agak di sudut ternyata milik Ruud van Nistelrooy yang sebelumnya ditempati David Beckham! Tak pelak, setelah itu peserta tur lainnya beramai-ramai menggusur saya. Mereka hendak berpotret di situ.

Perjalanan ke dalam perut Old Trafford berujung di lapangan. Meski tak boleh menginjak rumput, kami cukup girang mengambil foto dari segala posisi dengan latar belakang tulisan Manchester United besar-besar plus warna merah yang meronai setiap sudutnya. Tak lupa kami singgah di Red Café sambil mata berkeliaran ke segala penjuru. Siapa tahu, keberuntungan masih mengikutiku bertemu dengan pemain United.

Rute terakhir adalah megastore Manchester United yang memuat segenap merchandise asli klub ini. Saat memilih-milih barang untuk adik saya yang pecinta berat United, saya jatuh hati pada sebuah kaos dengan desain unik yang rasanya belum pernah saya jumpai di mana-mana. Sesaat sebelum saya menyorongkannya ke kasir, sesosok label tersembul: Made in Indonesia! Serta merta saya campakkan kaos itu. Jauh-jauh mengitari setengah bola dunia untuk tiba di Old Trafford, manalah sudi saya menenteng pulang kaos buatan Tangerang atau Bandung itu. Alamak!

Sunday, February 22, 2004

Magical Mystery Tour di Liverpool 

patung lennon di depan cavern club

LIVERPOOL membentang di ujung kakiku. Pelabuhan Merseyside di pusat kota tak hanya menerbangkan angin yang meniup-niup rambutku tapi juga sebait lagu Yellow Submarine: in the town where i was born… Kapal selam kuning dalam lagu itu terdampar dengan megah di depan saya sebagai tugu di tengah Chavasse Park. Ya, saya berada di kota kelahiran John Lennon, Paul Mc Cartney, George Harrison dan Ringo Starr.

Inilah kota Liverpool, lima jam perjalanan darat dari London. Ia salah satu kota besar di Inggris selain London, Birmingham dan Manchester. Kota berpenduduk 470.000 jiwa ini terletak di barat laut Inggris, di bibir pelabuhan kawasan Merseyside. Kota pelabuhan ini tengah berusaha mencapai citra baru di tahun 2008 sebagai ibukota peradaban Eropa. Di dunia, ia juga terkenal sebagai rumah bagi dua tim sepakbola terkenal Inggris, Liverpool dan Everton FC.

Di atas segala popularitasnya, Liverpool adalah Beatles. Begitupun sebaliknya. Tak ada kota yang memuja warganya melebihi pemujaan Liverpool pada The Beatles. Meski menyimpan sejarah sebagai kota pelabuhan dan industri yang jaya di masa lalu Inggris dan Eropa, aset utama kota ini tetaplah empat pemuda lokal yang mendunia sejak 1960 hingga detik ini Meski dua di antaranya --Lennon dan Harrison -- telah tiada, Beatles tak pernah mati. Mereka akan selalu hidup dan menyambut siapapun yang datang ke Liverpool.

Yang datang lewat udara akan mendarat di John Lennon International Airport -- satu-satunya bandara di Britania Raya yang memakai nama orang-- dengan motonya above us only sky yang disitir dari lagu Imagine. Yang berlabuh dengan kapal akan tiba di Merseyside, lokasi The Beatles Story Museum. Kami yang berkendara dari Manchester disongsong plang bertuliskan Welcome to Liverpool, The Beatles City. Lengkap dengan bis kota yang lalu lalang dengan tujuan Penny Lane, Strawberry Fields dan tempat-tempat beraroma Beatles lainnya.

Saya dan suami bergabung dengan tur The Beatles: Magical Mystery Tour, judul lagu dan film mereka yang tak terlupakan. Kami menaiki bis replika dari bis yang mereka pakai dalam film pada 1967. Bis yang asli kini menjadi memorabilia di Hard Rock Café, Miami, sedangkan bis duplikat yang kami tumpangi ini pernah tampil dalam video klip Free As A Bird lagu yang tidak berasal dari salah satu album Beatles dan baru dirilis sebagai single pada 1995, lama setelah kelompok ini tak aktif lagi. Di tiket yang kami beli tertera Ticket To Ride. Tatkala lagu-lagu Beatles menderu-deru di dalam bis, kami betul-betul menjadi bagian dari The Beatles hari ini. Roll up… Roll up for the mystery tour!

Kami menjelajah jejak keempat personil Beatles. Rumah kelahiran, sekolah, tempat tinggal hingga lokasi-lokasi bersejarah lainnya. Tiap lokasi menjadi jejak yang tak padam oleh waktu. Lennon dan McCartney bahkan telah menyerahkan rumah mereka untuk dikelola National Trust sebagai obyek sejarah kota. Sebuah taman di tengah kota dinamai George Harrison Memorial Park setelah si pemilik nama meninggal tiga tahun silam. Area di sekitar tempat tinggal Ringo Starr kini dinamai Ringoland oleh pemerintah kota. Bis menggelinding terus ke lokasi yang menjadi tema lagu mereka semisal Penny Lane, patung Eleanor Rigby, taman Strawberry Fields Forever.

Yang juga sangat berkesan adalah perjalanan ke The Cavern Club, pub tempat The Beatles pertamakali tampil. Kecuali bilangan tahun, tak ada yang berubah dari pub ini. Panggung dan dekorasi ruang di sebuah pojok dua lantai di bawah tanah yang dipertahankan sesuai aslinya dulu, termasuk poster-poster lama. Turis yang tentu sebagian besar adalah fans The Beatles berlomba-lomba berfoto di panggung itu. Saya berada di pub yang setiap lekuknya saya ingat lewat adegan film A Hard Day’s Night. Memorabilia tentang the fab four ini dipajang dengan cantik di sini. Tak ketinggalan The Beatles Shop yang menjual aneka pernak-pernik Beatles yang tak Anda temukan di tempat lain di Inggris. Kami menjinjing sebuah tas bergambar wajah empat personil Beatles berlatar biru.

Kawasan sekitar Matthew Street itu kini dinamai Cavern Walk dan hampir seluruh toko di situ bernuansa The Beatles. Patung Lennon bersandar di dinding bata Cavern Pub yang setiap kepingnya bertuliskan nama-nama besar pemusik yang pernah manggung di dalamnya, dari The Beatles hingga kelompok generasi baru Oasis yang berasal dari Manchester, kota tetangga Liverpool. Satu bangunan menjulang kini tengah dipersiapkan menjadi A Hard Day’s Night Hotel yang rencananya rampung tahun depan, khusus bagi penggemar Beatles. Ah, Beatles memang "pemilik" kota ini.

Kami meninggalkan Liverpool menjelang senja. Tidak dengan bis Magical Mystery Tour tapi dengan suasana hati yang lebih dari magic. Lagu Hello Goodbye yang berkumandang di pusat turis di tengah kota bagai mewakili perasaan kami yang belum mau berpisah dengan kota Beatles ini. I don’t know why you say goodbye I say hello…

Monday, February 16, 2004

All My Loving 

All My Loving

Close your eyes and I'll kiss you
Tomorrow I'll miss you
Remember I'll always be true
And then while I'm away
I'll write home every day
And I'll send all my loving to you



I'll pretend that I'm kissing
The lips I am missing
And hope that my dreams will come true
And then while I'm away
I'll write home every day
And I'll send all my loving to you

All my loving
I will send to you
All my loving
Darling I'll be true

(This Beatles' eternal song was dedicated to Sayangku when I have to fly alone to London and leave him in Jakarta that day. Now, the two of us are together and we're about to reach the hometown of the song's owner. LIVERPOOL, here we come!)

Thursday, February 12, 2004

Mari Belanja di Toko Derma 

Oxfam Charity Shop

BARANG bekas tak identik dengan rombengan. Ia bisa menjadi benda berharga yang tetap cantik ketika dipakai lagi. Jika beruntung, anda bisa tampil dengan baju hangat Mulberry atau setelan Giorgio Armani. Asli, bukan tiruan. Tidak baru, memang, tapi masih bagus dan tiada cacat. Dan tak seorangpun akan mencela jika kebetulan mereka tahu anda mendapatkannya di toko derma alias charity shop yang bertaburan di sekujur kota London dan seluruh Inggris.

Toko derma dikelola oleh organisasi sosial. Jadi, toko ini menerima sumbangan barang yang sudah tak dipakai untuk kemudian dijual kembali. Hasil penjualan inilah yang digunakan untuk keperluan sosial. Tergantung misi tiap-tiap organisasi. Ada yang bergerak di bidang kesehatan seperti British Heart Foundation atau Cancer Research UK. Ada pula yang membantu anak-anak tak mampu semacam Save The Children. Tak ketinggalan yang beraksi untuk kesejahteraan hewan semisal Cat Protection League. Ada pula yang memfokuskan pada bantuan untuk orang-orang jompo seperti Help The Aged. Salah satu toko derma dengan jaringan terluas adalah Oxfam dengan lebih dari 800 cabang di seantero Inggris Raya.

Aneka rupa benda disumbangkan orang ke toko derma. Baju, DVD, buku, tas, peralatan makan, mainan anak, barang elektronik sampai furnitur. Bahkan gaun pengantin pun ada. Namanya juga donasi, jadi ya ketersediaan tiap-tiap kios tergantung barang yang disumbang pada saat itu. Jangan bayangkan ‘barang yang sudah tidak dipakai’ ini berupa loakan busuk. Begitu melangkah ke dalam toko, rasanya tak beda dengan masuk ke Marks and Spencer, retail paling populer di Inggris. Tokonya wangi dan bersih. Barang dipajang dengan rapi dan menarik. Dan yang paling penting: harganya sangat murah.

Saya paling hobi menjelajah buku-buku di toko derma. Novel-novel macam Bridget Jones Diary --yang di toko buku resmi berlabel 8 hingga 10 pounds -- cuma 99 pence di sini. "Kitab suci" alias buku resmi Manchester United juga hanya 2 pounds. Buku kumpulan resep masakan terbitan Reader’s Digest setebal 350 halaman edisi hardcover senilai 15 pounds, saya beli 1,99 pounds saja. Meskipun masuk kategori barang second, buku-buku yang dijual masih dalam kondisi sangat bagus. Mungkin hanya sekali dibaca atau malah belum pernah sama sekali. Semua buku yang saya beli masih dalam kondisi belum tersentuh sebelumnya.

Yang juga sangat menyenangkan dari toko derma adalah barang-barang antik atau klasik yang mungkin tiada duanya di dunia. Peralatan minum teh Inggris klasik. Jam kayu tua yang masih berbunyi nyaring. Atau sekedar kartu pos tua dari berbagai negara. Seorang teman pernah mendapatkan sebuah kotak musik antik dengan penari balet di atasnya.

Banyak pula merek-merek mahal terpampang di toko derma. Di Cancer Research UK pernah tersedia sepatu boot hitam Louis Vuitton seharga 90 pounds dan sepatu cantik Prada 65 pounds. Harian The Observer menyatakan itu sebagai ‘harga yang mahal untuk sebuah toko derma, tapi sangat murah untuk sebuah barang bermerek’. Maklum, di butiknya nan mewah, barang-barang dari dua merek itu bisa berlabel ribuan pounds. Dasar orang kaya Inggris, barang yang sudah tidak terpakai saja tetap nampak seperti baru. Barang bekas bagi seseorang bisa jadi harta tak ternilai bagi orang lain.

Tak usah khawatir gengsi akan melorot jika kepergok belanja di sini. Bagi orang Inggris, menyambangi toko derma justru sebuah kebanggaan. Bahkan banyak selebritis yang mengumumkan dengan bangga bahwa mereka hobi belanja di kedai murah meriah ini. Tak ada yang mencela mereka kekurangan duit. Justru dianggap budiman karena hobi menyumbang.

Prosesi menyumbangnya pun tak musti individual. Bisa juga keroyokan dan unik seperti di Birmingham, Agustus lalu. Sekitar 50 wartawan dan artis Inggris berkumpul di depan Oxfam. Mereka membawa aneka barang yang siap didermakan sambil menjerit-jerit melantunkan sebait lagu Red Hot Chilli Pepper: Give it away. Give it away. Give it away now…

Wednesday, February 04, 2004

Ke Notting Hill Bersama Hugh Grant 

Notting Hill

DINGIN menggeletarkan pagi. Tapi sepotong ruas jalan di London itu telah bangkit sejak dini. Ratusan tenda dikembangkan, toko-toko dipupur cantik, barang dagangan diseka bersih. Ya, Sabtu adalah 'hari pasar' bagi Portobello Market yang merentang dari Portobello Road sampai Notting Hill Gate.

Nama Notting Hill kian membumbung sejak film dengan judul yang sama diluncurkan pada 1999. Komedi romantis yang dibintangi Hugh Grant dan Julia Roberts makin mengukuhkan kawasan ini sebagai sudut kota yang wajib dikunjungi di London. Saya menginjak kawasan ini sambil mengingat kata-kata William Thacker, tokoh yang diperankan Hugh Grant, dalam adegan pembuka Notting Hill: "So this is where I spend my days and years --in this small village in the middle of a city-- in a house with a blue door."

Meluncur dengan tube (kereta bawah tanah) ke Stasiun Notting Hill Gate, saya disongsong kerumunan yang bergerak ke arah yang sama: Portobello Market. Suasananya sepintas mirip Jalan Malioboro Yogyakarta. Ada toko-toko permanen, ada pula tenda-tenda biru, juga kelas ‘gelar tikar’. Silakan cari yang anda mau. Pakaian, compact disc, pohon-pohonan, koin kuno, boneka, peralatan makan, furnitur unik hingga aksesoris etnik dari berbagai negara. Termasuk kerajinan asal Indonesia --antara lain Bali, Yogyakarta, Toraja dan Papua-- yang dijual di toko bernama Krakatau!

Barang antik, bekas ataupun baru semua ada di sini. Namun, hati-hati memilih barang kuno. Maklum, seperti halnya di Jalan Surabaya, Jakarta Pusat, salah pilih anda bisa menggotong barang asli tapi palsu. "Some are genuine, some are not so genuine," kata Hugh Grant di film, tentang barang antik yang dijajakan di sini.

Meski kini bersinar sebagai kawasan wisata, Notting Hill sesungguhnya menyimpan sejarah sedih: kerusuhan antaretnis pertama di Inggris terjadi di sini pada 1950. Kala itu, Notting Hill memang pusat tempat tinggal warga Karibia yang berimigrasi ke Inggris. Tak ketinggalan warga Portugis, Maroko, Pakistan dan Afrika Utara juga banyak mukim di sini. Pada dekade berikutnya, Pemerintah Lokal menjadikan Notting Hill sebagai pusat rumah murah bagi warga miskin. Seperti Rumah Sangat Sederhana alias RSS di Jakarta.

Namun, perkembangan kota mengubah semua itu. Tak sampai sepuluh tahun kemudian, Notting Hill kemudian banyak didatangi orang-orang kaya. Terutama karena letaknya yang strategis di Central London. Mereka yang berkantong tipis satu per satu terpaksa menyingkir lantaran harga properti makin melangit di lokasi ini. Banyak orang kaya membeli rumah dan membuat taman luas dan tertutup untuk umum. Salah satunya adalah yang dijadikan latar film, saat Thacker dan Anna Scott, tokoh yang dilakoni Julia Roberts, berjalan di malam hari dan menyelinap ke sebuah taman. Lima menit dari Ladbroke Grove atau Kensington Park Gardens --kedua jalan itu sejajar dengan Portobello Road-- dan Anda akan bertemu taman mewah ini.

Namun, jangan kecewa kalau tak semua latar di film Notting Hill sesuai dengan aslinya. Rumah berpintu biru tempat tinggal William Thacker sebenarnya tak berlokasi di Portobello Road seperti di film, tapi di Westbourne Park Road masih di kawasan Notting Hill. Itulah rumah Richard Curtis, sang penulis naskah, yang kini tak lagi berpintu biru, tapi coklat.

Travel Bookshop milik Thacker dalam film juga tak ada di alam nyata. Yang ada: sederetan toko buku khas di sepanjang Blenheim Crescent, Notting Hill. Ada toko buku khusus cooking, gardening hingga, ya itu tadi, travel. Dan Travel Bookshop yang menjadi sumber ide Curtis ini sekarang menjadi salah satu objek yang digemari turis. Di dindingnya terpampang guntingan-guntingan media yang memuat gambar dan berita Grant dan Roberts di dalam toko buku itu, saat syuting dan dalam film.

Dengan sejarahnya yang berliku, Notting Hill memang menjadi sudut London yang unik. Orang-orang kaya datang, namun tak semua yang miskin menyingkir. Para imigran berketurunan di sini berbaur dengan warga Inggris asli. Hasilnya: Notting Hill --yang lokasinya tak jauh dari Istana Kensington dan Hyde Park-- pun menjadi kawasan percampuran antar kelas, antar bangsa. Inilah yang mengilhami Curtis menulis naskah film Notting Hill. Di sini, para pungguk sangat mungkin bertemu bulan. Seperti Thacker si pemilik toko buku yang nyaris bangkrut bisa bersua dan menjalin kasih dengan Anna Scott yang bintang Hollywood. Meskipun, "I live in Notting Hill. You live in Beverly Hills. Everyone in the world knows who you are. My mother has troubles remembering my name," kata Thacker.

Keramaian Notting Hill sempat membuat ketar ketir sutradara Roger Mitchell. "Saya takut ratusan orang akan berkerumun saat kami mengambil gambar Hugh Grant dan Julia Robert sehingga mengganggu syuting," katanya. Namun syukurlah itu tidak terjadi. Dengan perencanaan lokasi yang sangat terkoordinasi, juga dengan bantuan pengamanan dari polisi lokal, segenap warga dan pengunjung Notting Hill justru menjadi figuran tak resmi yang memerankan diri sendiri dengan sangat natural. Persis seperti yang dibutuhkan film ini. "Mereka ikut senang karena film ini tentang diri mereka juga," kata Pak Sutradara.

Sepulang dari Notting Hill, saya kembali menonton filmnya dan mengamati dengan teliti adegan demi adegan. Ternyata, Notting Hill asli jauh lebih seru dan menyenangkan ketimbang filmnya. Kecuali satu: tidak ada Hugh Grant di sana. Whoopsidaisies!