<$BlogRSDUrl$>

Monday, July 19, 2004

Musim Strawberry Telah Tiba 

MUSIM panas Inggris menghadirkan kesukaan baru: strawberry segar. Sebelumnya, saya hanya mengenal buah ini lewat selai, es krim dan aneka penganan. Itupun yang sarat pewarna khas jajanan anak Jakarta masa saya kecil. Maklum, buah ini bukan asli buatan Indonesia. Kalaupun ada beberapa perkebunannya seperti di Puncak, rupa dan rasanya beda. Lebih asam dan kecil-kecil.

Kini, di negeri ini, saya bergelimang strawberry. Apalagi di musim panas begini. Strawberry berserak dimana-mana. Di pasar tradisional, supermarket hingga di perkebunan. Harganya pun murah meriah lantaran persediaan melimpah. Saya tak kuasa menatap warnanya yang merah segar di tengah teriknya matahari London. Walhasil, setiap melintas pasar, beberapa kotak strawberry pun tersampir di dalam ransel.

Tak puas hanya menyantap, saya pun penasaran ingin ikut memetiknya. Maklum, masa kecil saya lebih banyak dikelilingi buah-buahan kampung -- mangga, rambutan dan jambu kelutuk -- yang tumbuh di halaman rumah. Kebetulan, banyak perkebunan strawberry di sini yang membuka diri sebagai tempat wisata. Pengunjung bisa memetik, menimbangnya di kasir dan kemudian menyantapnya di taman nan terbentang luas. Serupa dengan kebun-kebun apel di Malang, Jawa Timur yang juga jadi kawasan wisata favorit saya.

strawberry
Lantaran bersamaan dengan liburan sekolah anak-anak Inggris, ide saya disambut hangat oleh Matta dan Juang, anak keluarga Liston Siregar, dan Kirana, anak keluarga Susilo. Maka di Senin pagi saat matahari terik menantang, kami pun beramai-ramai meluncur ke kebun strawberry di Swanley, Kent, sekitar satu jam perjalanan dari rumah.

Hamparan kebun strawberry menyambut. Kami beramai-ramai berjongkok dan merayap di antara pohon-pohon strawberry yang tumbuh merambat rendah. Buahnya nan merah segar menyembul di sela-sela dedaunan. Sungguh sedap dipandang mata dan disentuh lidah. Sambil memetik, kami tak henti-henti memasukkan strawberry ke mulut. Rasanya yang asam manis sungguh segar menelusuri kerongkongan di panas terik. Lagu Strawberry Fields Forever milik The Beatles segera meliuk-liuk di kupingku: Let me take you down cause I'm going to strawberry fields...

Tepat tengah hari kami membuka bekal makan siang. Selebihnya, strawberry, strawberry dan strawberry! Lupa daratan lantaran tergiur merahnya strawberry segar. Tak terasa sehari penuh kami di sana. Tiba di rumah, tinggallah saya mabuk strawberry. Dijamin dalam beberapa hari ini, jangankan menyantap, melihat bentuknya saja sudah membuat saya mual. Rupanya, perut kampung saya ini tetap lebih suka bergaul dengan jambu kelutuk dan rambutan!


Saturday, July 03, 2004

Paris I´m in Love 

SUNGAI Seine masih mengalirkan keindahan. Lampu-lampu Champs-Elysees masih memendarkan kehangatan. Paris, saya datang lagi. Dua setengah jam saya menembus terowongan bawah laut dengan kereta Eurostar dari London untuk tiba di sini. Menyesap kembali udara musim panas Paris yang kadang diselingi hujan dan angin.

SeineSaya tiba bersama suami. Menelusuri tepi Seine dan menikmati para pelukis jalanan yang mengguratkan kanvas mereka. Mendaki Eiffel dan memandang Paris yang membentang di ujung kakiku. Menerobos relung-relung Louvre dan memandang lukisan Monalisa yang terpancang cantik di situ. Menghembuskan doa di depan Notre Damme, di sebuah bundaran kecil yang dipercaya sebagai titik tengah kota Paris. Konon, siapa yang menjejakkan kaki di situ, ia akan kembali lagi ke Paris.

Ingatan melayang ke kala pertama saya mendatangi bumi Perancis. Keindahan ternyata bukan cuma milik Paris. Tapi juga Bretagne, Nice, Toulouse dan Montpellier yang saya sambangi dalam perjalanan beberapa tahun silam. Sulit memang bertandang ke bagian dunia dimana kita tak berbicara dengan bahasa yang sama. Namun, untunglah, kata-kata dalam bahasa apapun menjadi tak terlalu penting untuk mengagumi negeri ini. Dari Paris yang metropolis, Bretagne nan menyisakan bagian kota kuno bagai dalam komik Asterix hingga Toulouse yang dikenal sebagai Pink City karena sebagaian besar bangunannya sejak jaman dulu dibuat dari batu bata merah muda. Nikmati saja.

Perancis adalah romantisme. Saya ingat Carrie Bradshaw dalam episode terakhir Sex and The City. Meski tengah berlumur kesedihan lantaran ditelantarkan kekasihnya, Carrie tetap bisa menikmati Paris seorang diri dengan romantis. Semakin romantis lagi karena sang pangeran impian, Mr Big, akhirnya datang ...and they live happily ever after.

Episode terakhir Friends juga menghadirkan Perancis sebagai "tokoh" utama. Rachel siap terbang ke Paris untuk pekerjaan barunya. Sesaat sebelum terbang, Ross tergopoh-gopoh menyusul ke bandara, untuk menyatakan rasa cintanya. Rachel menerima ...and they live happily ever after. Meski tak ada satupun pengambilan gambar di Paris, toh sutradara dan produser serial ini sadar betul: mereka perlu melibatkan Paris untuk akhir cerita yang romantis itu.

Dalam hal ini saya terpaksa setuju. Paris memang terlalu romantis untuk dinikmati hanya seorang diri. Tak cuma Paris sebetulnya. London, Jakarta. dan seluruh tempat di belahan dunia manapun terlalu indah untuk dinikmati sendiri. Dan saya pun berujung pada satu postulat: romantis itu bukan soal dimana kita berada, tapi dengan siapa kita melewatkannya!